MALANG NEWS – Pada 113 tahun Kebangkitan Nasional ini merupakan momentum yang sangat pas bagi anak bangsa ini, terutama para elit negeri ini untuk berintrospeksi, refleksi, dan bangkit dari berbagai keterpurukan.
“Saat ini negeri yang sudah 75 tahun merdeka, masih dihadapkan pada berbagai persoalan serius. Salah satu diantaranya adalah masalah korupsi. Dalam memperingati 113 tahun Kebangkitan Nasional ini, kita membutuhkan spirit kebersamaan dan kebangkitan semua elemen bangsa ini, terutama para pemimpin negeri ini untuk berjuang secara konsisten melawan “penyakit bangsa ini” yakni korupsi,” tegas Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Kandidat Doktor FISIP Universitas Airlangga, Umar Sholahudin, Kamis (20/5/2021).
Tanggal 20 Mei 1908, merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Dan peristiwa tersebut menjadi salah satu embrio paling penting dalam sejarah lahirnya Indonesia. Bermula dari pertemuan sebuah gagasan-gagasan besar nan cerdas dari dua anak bangsa yang terpelajar, yakni dr. Wahidin Yudirohusodho dan Dr. Soetomo, lalu berdirilah Boedi Oetomo.
Embrio inilah yang kemudian melahirkan semangat nasionalisme Indonesia, dan menjadi awal era kebangkitan nasionalisme Indonesia. Semangat tersebut beresonansi cukup panjang panjang sampai tahun 1928. Berlanjut pada lahirnya Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam rangkaian sejarah itulah, lahir anak-anak negeri yang cerdas atau terdidik hasil dari celupan Boedi Oetomo. Generasi muda Indonesia yang cerdas, tangguh, pantang menyerah ketika menghadapi setiap tantangan zaman imperialism asing.
Kini usia kebangkitan nasional bangsa ini telah memasuki usia 113 tahun. Sebuah usia yang sudah penuh dengan kematangan. Di peringatan Hari Kebangkitan Nasional 2021 ini, diharapkan semua anak bangsa ini melakukan refleksi dan revitalisasi semangat nasionalisme dan kebangkitan baru menuju bangsa yang lebih beradab dan mandiri. Bangkit Bersama Membangun Negeri adalah satu tema penting yang perlu dimunculkan dan dikampanyekan, mengingat negeri ini sedang dilanda berbagai krisis multidimensional yang tak kunjung surut.
TUMOR GANAS
Hari Kebangkitan Nasional ini, merupakan hari yang sangat monumental bagi berjalannya bangsa ini sampai sekarang. Nilai-nilai dan semangat keberagaman dan kebhinekaan mampu diintegrasikan dalam ketunggalan yakni Indonesia. Meskipun berlatar sosial dan budaya yang beragam; ada Jong Sumatera, Jong Java, dan yang lainnya. Namun semua itu mampu menyatukan rakyat Indonesia untuk bersatu, berjuang dan bangkit untuk melawan penjajahan.
Masalah tersebut yang saat ini menjadi ancaman serius yang dihadapi bangsa ini. Korupsi ini yang menjadikan rakyat dan negeri ini loyo, miskin dan tak berdaya, dan bahkan telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negeri ini. Korupsi sudah seperti tumor ganas, bukan lagi seperti bisul yang masih bisa ditutup-tutupi.
Di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang carut-marut ini, kita membutuhkan orang-orang bersih dan jujur yang mampu memberantas penyakit kronis bangsa tersebut. Kita butuh dan mendambakan hadirnya seseorang atau kelompok orang yang berjuang secara konsisten, dan lebih dari itu orang-orang yang memiliki komitmen tinggi dan konsisten untuk melakukan sesuatu dengan gagasan dan aksi konkrit untuk kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.
PENYAKIT KRONIS
Susahnya memberantas korupsi terkonfirmasi dengan semakin banyaknya para pejabat yang menjadi pasien kasus korupsi, dan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang tidak mengalami perbaikan signifikan.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tindak pidana korupsi berdasarkan profesi atau jabatan selama 2004-2019, terdapat 369 kasus yang melibatkan pelaku dari lembaga eksekutif, 255 kasus yang melibatkan anggota DPR/D, dan 52 kasus yang melibatkan pelaku dari lembaga yudikatif.
Sementara itu, berdasarkan instansi (2004-2019), paling banyak dari kementerian atau lembaga pemerintah (347 kasus), disusul Pemkab/pemkot (324 kasus), pemerintah provinsi (128 kasus), DPR/DPRD (70 kasus), BUMN/BUMD (61 kasus), dan komisi (20 kasus).
Berdasarkan data Kemendagri, sejak penerapan otonomi daerah, sekitar 70 persen dari total kepala dan wakil kepala daerah diseret ke meja hijau. Sebagian besar karena tersangkut masalah pengelolaan keuangan daerah.
Kondisi ini menunjukkan kebijakan desentralisasi kekuasaan dan keuangan daerah, bukannya melahirkan kekuasaan dan anggaran daerah yang mengabdi kepada rakyat, tapi justru sebaliknya mengabdi pada dirinya dan kepentingan kelompoknya. Lahirlah apa yang sering dinamakan desentralisasi korupsi. Otonomi telah melahirkan raja-raja kecil. Dengan kata lain, aktor utama pelaku korupsi di daerah, yaitu para elit daerah yang memegang kekuasaan, baik itu di lembaga birokrasi pemerintahan daerah maupun DPRD.
Ditambah lagi, saat ini lembaga anti rasuah, KPK, sedang mengalami proses pelemahan struktural secara terstruktur, sistematis dan masif, mulai dari terpilihnya Ketua KPK baru, revisi UU KPK, kinerja KPK pasca revisi UU KPK, sampai pada kasus kontroversi 75 pegawai KPK yang di-nonjob-kan. Deretan kasus pelemahan KPK tersebut menjadikan kinerja KPK banyak menunai kritik dan tingkat kepuasan menurun. Beberapa lembaga survei menyebut Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dalam dua tahun terakhir mengalami kemerosotan. Praktek serangan balik terhadap KPK sampai saat ini terus dilakukan, terutama dari kekuatan oligarkis yang menumpang di tubuh kekuasaan.
Akhirnya semakin hari wajah negeri ini sepertinya tidak bisa dikenali lagi jati dirinya. Berbagai skandal, kongkalikong, konspirasi, dan persekongkolan jahat telah menjadi bagian dari perilaku elit negeri ini dan perilaku tersebut menjadi tontonan yang memuakkan. Moralitas bangsa ini sedang berada pada titik nadir. Sehingga menjadikan sendi-sendiri kehidupan negeri ini mengalami kerapuhan yang begitu masif dan sistemik. Bangsa ini sulit bangkit dan maju karena korupsi yang begitu parah. Apakah negeri ini akan mengalami ajalnya?
MASIH ADA HARAPAN
Bangsa dan negeri ini memiliki modal dan potensi yang sangat besar, baik dari segi SDM maupun SDA. Dengan kedua modal dan potensi besar itu, kita yakin negeri ini bisa bangkit dan maju setara dengan bangsa-bangsa lain. Dan kebangkitan bangsa dari keterpurukan tak bisa dibebankan pada individu atau kelompok tertentu.
“Semua elemen bangsa ini, baik di pemerintah, elit politik di DPR, maupun ormas dan NGO memiliki tanggung jawab yang sama sebagai bentuk kebersamaan kita dalam melakukan perubahan dan perbaikan. Singkat kata, penjajahan yang paling bahaya dan membahayakan negeri ini adalah penjajahan aset negara dan rakyat oleh para koruptor. Penjajahan ini jauh lebih dahsyat dampaknya daripada penjajahan secara fisik. Karena itu, perjuangan di era kebangkitan ini adalah bagaimana bangkit dan berjuang melawan korupsi. Bangkitlah negeriku, harapan itu masih ada!,” pungkas Umar. (Had)