Ikuti Kami di Google News

MALANG NEWS – Tragedi kemanusiaan di Palestina menuai kutukan dan hujatan dari banyak pihak di seluruh dunia. Namun menariknya, beberapa pihak melontarkan sorotan secara tajam dan kritis yang memberikan manfaat dalam memahami potret dan duduk persoalan secara benar dan holistik.

“Palestina-Israel itu konflik tanah. Zionis Israel mencaplok tanah Palestina. Tanah Palestina mengecil. Konflik tanah ini memunculkan “perang pengaruh dan perang pencitraan”, silih berganti. “Rekayasa simbolik” pun dilakukan dan dikampanyekan. Makin membesar karena dikomunikasikan di era internet ini,” tegas Rachmat Kriyantono, PhD (Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya) Malang, Kamis (20/5/2021).

Ia menuturkan, untuk bisa mendapatkan dukungan publik, “agama” dijadikan bahan mentah rekayasa simbolik. Agama bersifat dogmatis yang punya efek mendalam pada rasionalitas orang. Orang bisa mudah terstimulus dengan merasa bahwa hajat agamanya telah tetlaksana, dengan ikut berdonasi, unjuk rasa, atau postingan menghujat di medsos.

Muncullah simbolisasi “Islam vs Yahudi; Islam tertindas, dan lainnya”. Padahal, yang tinggal di Palestina adalah beragam agama, termasuk Yahudi. Setiap konflik tanah biasa memunculkan para makelar, sebagai aktor proses rekayasa simbolik, yang bikin konflik seakan “ritual tahunan”. Ada keuntungan yang bisa digali dalam hingar-bingarnya ritual.

Simbol agama sebagai bahan rekayasa simbolik ketika bertemu dengan bahan simbolik lainnya, seperti politik, ekonomi, bisnis (termasuk bisnis senjata), sering memunculkan komunikasi inkonsistensi. Mengapa? Agama itu berfungsi membuat manusia konsisten di jalur kehambaannya dan kemanusiaannya (shiratal mustaqim), tapi, ketika agama diturunkan derajat hanya sebagai bahan mentah rekayasa simbolik maka yang muncul adalah inkonsistensi dan irrasionalitas.

Contoh Suriah adalah negara yang memerangi Israel. Kini, Suriah menghadapi pemberontakan kelompok, termasuk ISIS, yang ternyata didukung Israel. Kelompok ini menggunakan simbol-simbol agama juga, seperti khilafah, Sunni vs Syiah, dan lainnya. Tidak sedikit orang Indonesia yang mendukung Palestina, ternyata ikut simpatisan kelompok tersebut; Turki sibuk memframe konflik Palestina-Israel sebagai konflik agama, ternyata Turki memiliki hubungan mesra dengan Israel.

Rekayasa simbolik ini bikin konflik menjadi ritual tahunan (mungkin tak berkesudahan), makin menjauh dari problem utama konflik tanah, dan rakyat sipil pun menjadi menderita.

KOMUNIKASI INTERNASIONAL INDONESIA

Komunikasi internasional Pemerintah RI fokus pada key-message “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai perikemanusiaan dan keadilan”. Pemerintah konsisten tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel dan aktif menuntut kemerdekaan penuh Palestina di forum PBB maupun OKI.

Key-message ini bisa juga dimaknai merupakan simbol pemerintah untuk menghadapi “perang simbol/labelisasi” di dalam negeri, yakni melawan kelompok radikal. Pemerintah selama ini dilabeli “toghut, anti-Islam, anti-ulama, tidak membela Islam, dan lainnya”, dengan sikap positif terhadap Palestina maka secara tidak langsung, label tersebut terbantahkan. Ketika konflik Palestina-Israel ini juga diframe sebagai Yahudi menindas Islam, maka pemerintah pun bisa dipersepsi “membela umat Islam”.

Padahal, sebenarnya, yang dibela pemerintah adalah kemanusiaan dan keadilan suatu bangsa yang kehilangan sebagian besar tanahnya/dijajah bangsa lain.

“Cuman, efek simbolik pembelaan pemerintah kepada Palestina ini lebih dirasakan oleh publik mengambang daripada berdampak kepada publik oposisi  dan publik yabg terpapar radikalisme,” pungkasnya. (Had)

Share: