Ikuti Kami di Google News

Pengamat Terorisme Internasional HI (Hubungan Internasional) FISIP Universiras Brawijaya (UB) Malang Yusli Effendi
Pengamat Terorisme Internasional HI (Hubungan Internasional) FISIP Universiras Brawijaya (UB) Malang, Yusli Effendi. (Had).
MALANG NEWS – Pengamat Terorisme Internasional HI (Hubungan Internasional) FISIP Universiras Brawijaya (UB) Malang Yusli Effendi, menyampaikan kekhawatirannya apabila TNI terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia melalui tanpa pembatasan, akhirnya menggeser kerangka strategi menangani terorisme dari model sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan model perang (War Model). 


“Pelibatan TNI perlu diatur teknisnya, harus dijelaskan situasi dan eskalasinya, apakah nanti bersifat militerisasi penuh atau perbantuan terbatas,” kata Yusli Effendi, pada Senin (12/10/2020) dalam diskusi online secara terbuka bertema Penanganan Terorisme oleh TNI: Risiko dan Tantangan.

Kegiatan ini merupakan hasil sinergi antara Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Kota Malang bekerjasama dengan Jurusan PPHI (Ilmu Politik, Ilmu Pemerintahan, Hubungan Internasional) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya.

Seperti diketahui, terorisme merupakan kejahatan serius (serious crime) yang membawa dampak kerusakan pada beragam tingkatan. Bertahun-tahun negara Indonesia berperang melawan terorisme.

Sebagai salah satu upaya kontra-terorime, pemerintah membentuk BNPT tahun 2010 dan diperkuat dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 2018. UU ini menetapkan proses penanganan terorisme melalui skema peran dan kewenangan yang terdistribusi antar lembaga pemerintah, seperti BNPT, Kepolisian dan Kejaksaan.

Prinsip utama dari penanggulangan terorisme dalam UU ini adalah penegakan hukum atas aksi dan tindakan pidana terorisme. Kepolisian dengan ini menjadi institusi garda depan yang berkewenangan dalam penegakan hukum dan penindakan. Meski diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018, Pemerintah melalui presiden berencana mengeluarkan Perpres yang mengatur fungsi dan kewenangan tentara (TNI) dalam penanggulangan terorisme.

Dibuatkan Pagar
Yusli mengungkapkan, otoritas sipil, dalam hal ini presiden dibantu BNPT, merupakan aktor yang berwenang menentukan status eskalasi konflik yang membutuhkan keterlibatan TNI.

Setelah menjadi penentu status konflik, Pemerintah harus membuatkan “pagar” yang membatasi pelibatan militer sejauh apa. Yang perlu digarisbawahi, pelibatan ini merupakan pilihan terakhir (last resort), dilakukan dengan menghindari korban jiwa sipil, dan dilakukan ketika sumber daya sipil terbatas atau polisi tidak mampu, serta bersifat sementara atau terbatas. 

Ia menyatakan, bahwa pewacanaan terorisme sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) merupakan bentuk sekuritisasi. Dalam UU No. 5/2018 terorisme didefinisikan sebagai kejahatan serius (serious crime).

Dalam literatur Hukum Internasional, kejahatan luar biasa lebih dekat pemaknaannya dengan genosida atau kejahatan kemanusiaan berskala masif. Pemaknaan terorisme sebagai ancaman eksistensial dan pewacanaannya bahwa ia mengancam ideologi negara, kedaulatan dan keamanan negara, serta kemanusiaan, merupakan upaya sekuritisasi yang bisa menjadi tiket untuk desakan pelibatan TNI lebih mendalam dalam upaya kontra-terorisme. 

Operasi Militer Selain Perang
Perangkat hukum yang ada (UU TNI, Tap MPR Tahun 2000, dan UU No.5/2018 tentang Pemberantasan Terorisme) telah memberi kerangka militer masuk dalam ranah sipil lewat Operasi Militer. Selain Perang (OMSP) dan perbantuan terhadap polisi.

Banyaknya wilayah sipil yang melibatkan TNI tidak selalu masuk dalam konteks ancaman eksternal yang harusnya menjadi fokus tugas TNI, sebagai alat pertahanan negara dari ancaman kedaulatan dan territorial, dan belum tentu memerlukan pelibatan TNI. Tidak adanya pengaturan pelibatan TNI seperti UU Perbantuan TNI menjadikan jumlah MoU antara TNI dan Polisi berbiak masif hingga 41 MoU. Operasi Tinombala merupakan salah satunya, selain pelibatan TNI dalam cetak sawah, penanganan bencana, atau penanganan pandemi. MoU merupakan kerangka hukum yang rapuh karena tidak melibatkan mekanisme konsultasi otoritas sipil lain seperti DPR. UU TNI dan UU terorisme sejatinya mengharuskan restu presiden dan DPR untuk pengerahan TNI dalam wilayah-wilayah sipil termasuk kontra-terorisme. 

Spirit Deradikalisasi
Sementara itu, Dr. Sholih Mu’adi, SH., M.Si (Dekan FISIP UB) mengatakan, diskusi ini sangat penting untuk dilakukan secara terus menerus karena radikalisme memiliki kompleksitas untuk diselesaikan.

Oleh karenanya, pihak fakultas (FISIP, red) juga akan sangat terbuka untuk mengadakan kegiatan, termasuk dengan Nahdlatul Ulama, karena ini menjadi bagian dari tugas dari akademisi.

“Kondisi radikalisme sulit untuk diselesaikan. Selain juga banyak konflik yang terjadi di tengah masyarakat mulai dari konflik SDA, konflik agraria hingga konflik etnis. Apalagi, ditambah dengan pemahaman-pemahaman agama yang dianggap menyimpang yang akhirnya berafiliasi dalam gerakan jihadis atau ekstrimis,” terang Sholih Mu’adi.

Ia juga menyampaikan, bahwa gerakan melawan terorisme ini merupakan tugas bersama yaitu dengan memberikan pemahaman yang kaffah kepada semua pihak.

“Kita harus memberikan pemahaman yang kaffah kepada semua pihak. Seluruh saudara-saudara Kita, mahasiswa Kita, pemuda-pemuda dan elemen bangsa lainnya. Kita harus terus bersemangat karena Kita sudah berkomitmen dalam memerangi isu dan gerakan radikalisme sebagai wujud tanggung jawab dari agent of change,” imbuhnya.

Banyak Belum Selesai
Pada kesempatan yang sama, Milda Istiqomah, S.H., MTCP., Ph.D (Pengamat Terorisme dan Ahli Hukum Pidana Universitas Brawijaya), mengatakan, masih banyak persoalan HAM yang belum selesai dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme.

Ia memaparkan, penelitian terkait penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme yang masih menyisakan persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang masih harus diselesaikan.

Ia menilai pelibatan TNI belum perlu, dan Densus 88 serta penegak hukum masih harus diperbaiki. Namun karena dijustifikas Undang-undang, maka banyak aspek yang harus diperhatikan, seperti kemungkinan tumpang tindih peran dengan Densus 88 dan BNPT, atau yang lebih fatal adanya aturan yang bisa merusak Criminal Justice System yang dalam UU menjadi model acuan penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia. 

“Dari semua kasus tindak pidana terorisme yang Kita kenal di Indonesia, sebetulnya kurang dari 20 persen yang menimbulkan kematian. Kurang dari 13 persen yang menimbulkan kerusakan. Malahan, selebihnya lebih banyak karena kasus keterlibatan dalam military training camp, serta kepemilikan senjata api dan bahan peledak,” paparnya.

Artinya, upaya kontra-terorisme yang dikenal selama ini di Indonesia masih belum efektif inisiatif prevention (pencegahannya). Banyak sekali narapidana ditangkap bukan karena perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidananya. Melainkan sebagian besar merupakan tindakan permulaan pelaksanaan yang dilakukan jauh ke belakang dan kemudian dicegah oleh Densus 88.

“Oleh karena itu, menurut saya, penanganan tindak pidana terorisme dengan melibatkan TNI secara berlebihan belum perlu” pungkas calon doktor dari Fakultas Hukum The University of New South Wales (UNSW) Sydney, Australia ini.

Pemahaman Kaku
Dalam diskusi tersebut, Ketua Tanfidziyah PC NU Kota Malang, Dr. KH. Muhammad Isyroqunnajah, mengatakan, persoalan terorisme tak akan pernah pudar dalam kehidupan.

Isu ini akan terus menggeliat karena didasari diantaranya oleh pemahaman teks keagamaan yang kaku dan tertutup.

“Saya kira dari segi historisitas sebetulnya ragam pemahaman semacam ini sudah muncul sejak zaman nabi,” tutur KH. Isyroqunnajah.

Isyroqunnajah mengatakan, terjadinya terorisme, secara sederhana karena salah satunya, adanya cara pandang dari pemikiran tekstualis atau skriptualis dengan yang pemikiran subtansialis yang tidak bertemu dan berdialog realitas kekinian. Lebih-lebih, yang terjadi di negara Indonesia, ada otoritas-otoritas lain yang menjalankan tugasnya diluar otoritasnya. 

Sebagai contoh, ketika program KB (Keluarga Berencana) dulu pernah diterapkan oleh pemerintah, sempat kedodoran karena pemerintah sempat tidak mampu “mengerem” laju kelahiran di masyarakat, terutama pada kelompok yang memiliki keyakinan bahwa KB haram.

Hingga pada akhirnya NU sebagai salah satu representasi dari otoritas keagamaan turut terlibat dan mampu berperan. Hal ini terjadi karena di masyarakat ada ideologi yang hanya bisa dicairkan oleh otoritas-otoritas keagamaan. 

“Contoh kasus lain seperti penanganan Covid yang sangat membutuhkan keterlibatan otoritas keagamaan karena di masyarakat ada pemahaman soal qodho dan qodar, yang hanya bisa dijawab oleh otoritas keagamaan” imbuhnya. (Had).

Share: