Ikuti Kami di Google News

Countering Violent Extremism (CVE) Universitas Brawijaya Malang, Yusli Effendi
Countering Violent Extremism (CVE) Universitas Brawijaya Malang, Yusli Effendi. (Had)
MALANG NEWS – Hingga kini sinergitas Polri dan TNI tetap solid dalam pemberantasan terorisme di tanah air lewat Operasi Tinombala.


“Sampai sekarang kolaborasi TNI dan Polri masih kokoh dalam pemberantasan terorisme. Berdasarkan pengamatan saya, dalam sinergi tersebut tetap ada plus minusnya,” kata pemerhati terorisme atau
Countering Violent Extremism (CVE) Universitas Brawijaya Malang, Yusli Effendi, Minggu (6/9/2020).

Sinergi Aktif
Sekilas informasi, penangkapan simpatisan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Sutomo bin Sudarso alias Ustad Yasin, oleh Satuan Tugas (Satgas) Tinombala (1/9/20) menunjukkan masih aktifnya kerja sama antara Kapolri dan Panglima TNI melalui Operasi Tinombala.

MoU Perbantuan TNI kepada Kepolisian, dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut, di jalin antara Kapolri dan Panglima TNI. MoU yang dibuat tahun 2013, dan diperbarui tahun 2018 ini merupakan upaya untuk mengisi kekosongan mekanisme perbantuan TNI, terhadap Kepolisian RI dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Kepolisian melakukan operasi pemberantasan di Poso sejak tahun 2015. Namun, sejak 2016 Kepolisian melibatkan TNI dalam upaya ini. Dalam operasi ini, Santoso alias Abu Wardah berhasil ditembak mati dalam tahun itu setelah di buru di rimba belantara.

Lewat operasi ini pula, Ali Kalora ditembak mati akhir tahun 2018. Keterbatasan personil kepolisian dalam menghadapi Santoso alias Abu Wardah, Ali Kalora, dan para pengikutnya di hutan-hutan membuatnya menarik masuk keterlibatan TNI, yang memiliki pasukan elit gabungan tiga matra yang di khususkan untuk operasi pemberantasan terorisme.

“Sinergitas ini sampai sekarang berjalan aktif dan diharapkan efektif,” terang Yusli.

Biaya Jumbo
Yusli mengungkapkan, Operasi Tinombala yang berhasil menggelandang Sutomo ini merupakan Operasi Tinombala Tahap III, yang dimulai dari 29 Juni dan berakhir 30 September 2020.

Adalah menarik untuk mengetahui bahwa biaya operasi ini sangat besar. Tiap triwulan Rp 13 milyar harus digelontorkan negara untuk mendanai operasi ini.

“Model perang dalam penanggulangan terorisme dengan pengeluaran besar untuk operasi ini, hanyalah sebagian fokus perhatian publik,” papar pria alumnus FISIP Universitas Airlangga ini.

Pergeseran Penanganan
Yusli menjelaskan, masyarakat sipil banyak menyoroti keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme sebagai upaya pergeseran penanganan terorisme, dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) ke model perang (war model).

Ada perbedaan mendasar antara keduanya. Jika model sistem peradilan kriminal bertumpu pada penegakan hukum, model perang mengandalkan mobilisasi kapasitas militer.

Sejatinya, ihwal perbantuan TNI ini termaktub dalam UU TNI No. 34/2004, tentang tugas perbantuan TNI dalam OMSP dan diperkuat oleh UU No.5/2018 tentang terorisme.

Kini, presiden juga sedang menggodok rancangan final Perpres tentang Tugas TNI, dalam mengatasi Aksi Terorisme yang memicu kritik dari masyarakat sipil.

Perdebatan muncul, dikarena dalam salah satu Rancangan Perpres tersebut bertentangan dengan kedua UU tersebut, karena absennya konsultasi Presiden dengan DPR untuk pengerahan TNI dalam penanganan terorisme.

“Sebagai otoritas sipil tertinggi, presiden mengeluarkan keputusan politik untuk pengerahan TNI setelah mendapat restu dari DPR RI,” jelas pria yang juga anggota KAHMI ini.

Resiko Pelibatan TNI
Pria yang juga penulis buku berjudul Glokalisasi ini mengungkapkan, pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme memiliki sisi buruk.

Ia bisa memunculkan tumpang tindih kewenangan dan penugasan, militerisasi polisi, hingga penggerusan kontrol sipil.

Keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme harus memiliki batasan jelas dalam operasional, skala, dan lama keterlibatan.

Saat terorisme mampu merongrong kedaulatan dan mengancam integritas teritorial seperti ISIS di Suriah, maka pelibatan TNI menjadi niscaya.

Lemahnya kapasitas kepolisian dalam perang di rimba, dalam memburu Santoso atau Ali Kalora dan para pengikutnya di Poso yang tinggal belasan, mungkin bisa dibenarkan namun tetap harus dibatasi dan bersifat temporer.

Idealnya, tugas perbantuan TNI dalam pemberantasan terorisme ditempuh saat kedaulatan negara dalam ancaman terorisme, dikeluarkan atas dasar keputusan politik, bersifat sementara.

“TNI tidak diposisikan sebagai leading sektor, dan hanya digunakan sebagai opsi terakhir,” pungkas Yusli. (Had)

Share: