Ikuti Kami di Google News

Oleh: Andi Rachmanto, S.H

MALANG NEWS – Dalam sistem peradilan pidana, hak-hak korban seharusnya menjadi prioritas utama. Korban tindak pidana berhak mendapatkan perlindungan, dukungan, serta keadilan atas penderitaan yang dialami. Namun, dalam praktiknya, wewenang Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang sangat besar terkadang berpotensi membatasi atau bahkan mengesampingkan hak-hak korban.

Hal ini menjadi ironi, karena justru dalam pencapaian keadilan, peran korban sering kali terpinggirkan.

Salah satu isu yang sering mencuat adalah kewenangan JPU dalam menentukan kelanjutan suatu perkara. JPU memiliki diskresi dalam menilai apakah sebuah kasus layak untuk dilanjutkan ke pengadilan atau tidak, termasuk dalam penerapan restorative justice.

Dalam praktik, kewenangan ini berpotensi mengesampingkan keinginan atau hak korban yang menginginkan penyelesaian secara adil melalui jalur hukum.

Contohnya, dalam kasus tertentu, JPU dapat memutuskan penghentian penuntutan meskipun korban menginginkan agar pelaku tetap diproses secara hukum.

Keputusan ini dapat memberikan kesan, bahwa negara lebih berpihak pada efisiensi penanganan kasus daripada kepentingan korban.

Selain itu, dalam proses penuntutan, JPU memiliki otoritas besar dalam menyusun dakwaan dan menentukan alat bukti yang akan diajukan.

Namun terkadang, korban merasa aspirasinya tidak sepenuhnya dipertimbangkan dalam perumusan dakwaan tersebut. Korban juga sering tidak dilibatkan secara memadai dalam proses persidangan, padahal mereka adalah pihak yang paling terdampak oleh tindak pidana.

Tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan etis, terkait bagaimana negara melindungi hak korban dalam peradilan pidana.

Untuk menciptakan peradilan yang lebih adil, perlu ada pengaturan yang lebih tegas terkait peran dan hak korban. Salah satunya adalah memastikan keterlibatan korban dalam proses penuntutan, mulai dari tahap penyelidikan hingga persidangan.

Disamping itu, pengawasan terhadap diskresi JPU perlu diperketat, sehingga keputusan yang diambil tetap menghormati hak-hak korban dan bukan hanya kepentingan penegakan hukum secara administratif.

Contoh kongkrit, yakni dalam persidangan pihak JPU sebagai wakil atau pembela hukum di pihak korban, akan tetapi banyak terjadi ketika putusan pengadilan dirasa kurang mewakili rasa keadilan pihak korban, dan disitu JPU tidak melakukan upaya banding maka tertutuplah juga pintu upaya hukum lanjutan terhadap ketidak puasan di sisi korban.

Menyimpulkan hal ini, pembredelan hak korban oleh wewenang JPU merupakan masalah serius dalam sistem peradilan pidana kita. Meskipun tujuan penegakan hukum adalah melindungi masyarakat, penting bagi negara untuk menghindari praktik yang mengesampingkan hak-hak korban.

Dengan pembaruan hukum yang lebih berpihak pada korban, diharapkan keadilan yang seimbang dapat tercapai, serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.

Kewenangan jaksa sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2004.

Selain berfungsi sebagai penindakan, pengawasan, serta pemahan atau sosialisasi hukum dan atau memberikan konsultasi hukum kepada masyarakat yang membutuhkan.

Catatan Redaksi: Andi Rachmanto, S.H Advokat atau Praktisi Hukum dan Corporate Lawyer, Managing Partner pada Kantor Hukum Maha Patih Law Office.

Share: