Ikuti Kami di Google News

MALANG NEWS – Trenyuh akan maraknya Radikalisme, tiga Dosen UB (Universitas Brawijaya) Malang memberikan sosialisasi kepada Millenial Kota Malang.

Bentuk tindakan radikalisme, ekstremisme dan intoleransi agama seiring berjalannya waktu semakin hari semakin menguat. Infiltrasi paham gerakan radikalisme dan maraknya aksi-aksi diskriminasi terhadap minoritas keagamaan, sering kita temui di sekitar kita.

Atas keprihatinan tersebut, dan juga wujud Tri Dharma Perguruan Tinggi berupa Pengembangan, dan Pengabdian kepada Masyarakat digelar Kegiatan pelatihan pemahaman radikalisme, ekstremisme dan intoleransi agama.

Tiga dosen Ilmu Politik FISIP UB (Universitas Brawijaya) Malang, Ahmad Hasan Ubaid, Tri Hendra Wahyudi dan M Fajar S Ramadlan berkolaborasi dengan  laboratorium politik dan rekayasa kebijakan (LAPORA), pusat kajian pemilu dan demokrasi FISIP UB Malang, dan pusat kajian media dan literasi kebudayaan (Puska Melek) FISIP UB Malang, mengadakan acara kelas tentang pemahaman radikalisme, ekstremisme dan intoleransi agama.

Acara yang diselenggarakan di DW Coffe Shop, Jalan Jakarta pada Sabtu (18/9/2021) ini, menyoroti gerakan radikal juga menyasar institusi pendidikan formal, sekolah dan universitas dengan dihadiri 30 siswa dari SMA Negeri 5 Malang.

Menurut Tri Hendra Wahyudi ada tiga hal yang mendasari kegiatan ini, yakni yang pertama perhatian publik dan pemerintah  yang kebijakan-kebijakan pemerintah yang makin getol perihal radikalisme dan ekstremisme.

Kedua yaitu sekolah dan kampus itu dilakukan secara daring ada potensi paparan radikalisme dan ekstremisme yang makin menguat, dan yang ketiga memberikan pemahaman untuk mengontrol diri sendiri menangkal pengaruh media sosial, terutama pada radikalisme dan ekstremisme.

“Maka kegiatan ini penting bagi siswa sebagai individu yang mandiri, bisa mengontrol diri mereka sendiri agar tidak terpapar itu melalui internet, maka nanti pada tahap akhir akan diberikan tips bagaimana menangkal pengaruh media sosial terutama pada radikalisme dan ekstremisme,” tutur Tri Hendra.

Menurut Tri Hendra, kebanyakan pendidikan di Indonesia saat ini dipenuhi generasi millenial yang berhadapan langsung dengan media sosial, berpotensi terpengaruh konten-konten yang mengarah ke arah radikalisme.

Secara singkat alur itu terjadi berawal dari pembentukan nalar beragama yang intoleran, lalu tumbuh menjadi radikal dan berlanjut pada aksi-aksi intoleran, radikal maupun aksi terorisme.

Untuk itu lingkungan pendidikan di Indonesia yang diisi oleh generasi millenial, mesti menjadi sorotan bersama dalam rangka mencegah aksi-aksi terorisme atau sejenisnya.

“Saya harapkan bagaimana mensinergikan antara potensi siswa yang cukup besar, untuk mengenali dengan penanganan di sekolah yang bisa lebih sistematis dan integratif,” ungkap pria yang hobi memelihara ikan koi ini.

Penanganan tentang paham ini sangat diperlukan bagi peserta didik, orang tua dan juga guru-guru. Sebagai barier dan tindakan human security penangkal pemahaman radikalisme. Seperti ungkap Fairus Ramadina Nursal salah satu siswa SMAN 5 Malang.

“Menurut saya bagus, karena enggak semua mendapatkan materi ini, menguntungkan untuk kita sebagai peserta didik dan untuk orang lain. Menurut saya berguna banget soalnya zaman sekarang kita sering liat kasus-kasus seperti ini, dan juga nantinya akan saya gunakan ilmu ini di lingkungan sekolah dan keluarga,” tandasnya.

TIGA SESI

Dalam acara ini ada tiga sesi yang diberikan, yang pertama sesi mengenai brainstorming menggali pengetahuan siswa terkait dengan pemahaman radikalisme dan ekstremisme, dikaitkan dengan pemahaman agama. Terutama agama islam yang mayoritas siswa muslim.

Sesi kedua mengidentifikasi gejala-gejala radikalisme dan ekstremisme untuk membangun kesadaran sensifitas dini, untuk dapat mengenal dan menemukan gejala-gejala radikalisme dan ekstremisme (early warning system).

Sesi tiga yaitu penyampaian soal pencegahan radikalisme dan ekstremisme berbasis teknologi informasi, khususnya media sosial.

“Mudah-mudahan dengan tiga kombinasi itu paling tidak siswa kembali ke sekolah, mereka punya bekal ada yang teoritis dan ada yang praktis, sehingga mereka bisa menerapkan,” tukas Tri Hendra.

LITERASI DIGITAL DI SEKOLAH

Sementara itu, untuk menangkal maraknya radikalisme di Lingkungan Sekolah yang disebarkan lewat medsos, akademisi ini juga menekankan pentingnya literasi digital.

Informasi yang disediakan oleh media sosial saat ini sangatlah kencang, dan masyarakat kini dihadapkan dengan kegiatan virtual yang diharuskan terhubung dengan internet secara langsung, dan terus menerus.

Media sosial dapat menjadi pintu awal mengenai paham radikalisme, masalah ini di lingkungan sekitar bukan semata-mata problem yang mudah diselesaikan.

“Media sosial itu kalau dilihat dari data BNPT itu memang salah satu pintu masuk narasi-narasi tentang ekstremisme, bahkan sampai terorisme. Konten media sosial itu kan tidak semua masyarakat memiliki kemampuan literasi digital yang baik, sehingga kemampuan untuk menyaring informasi memilih dan memilah itu masih bermasalah,” tutur Dosen Ilmu Politik Fisip Universitas Brawijaya (UB) Malang, M Fajar S Ramadlan.

Menurut Fajar, lingkungan keluarga juga turut andil dalam membangun sistem deteksi dini untuk mencegah menyebarnya paham-paham radikal berbasis SARA.

“Tapi kalau kita melihat dari kecenderungan banyak masyarakat yang menjadi ke arah radikal ekstrem, bahkan dibawa ke terorisme salah satu persoalan itu tekanan hidup dan stres. Masyarakat sekarang itu kan masyarakat yang relatif lebih dekat dengan media sosial daripada orang terdekatnya, sehingga terkadang persoalan-persoalan tentang hidup dicari jawabannya lewat media sosial. Mungkin diantara mereka terkoneksi dengan akun-akun yang kemudian bisa menggiring ke arah radikalisme, atau ekstremisme itu,” ungkapnya.

Deteksi dini menjadi solusi awal untuk melawan persemaian paham-paham jihadis di lingkungan sekolah-sekolah tersebut. Untuk menyelesaikan problem itu, pelibatan kelompok masyarakat sipil (civil society) menjadi penting.

“Pola umumnya yang sering terjadi gerakan ekstremisme yaitu intoleransi, kita memahami kultur lain terlalu mentah dan kemudian kurangnya pemahaman mengenai ilmu agama itu, kemudian dimanivestasikan ke dalam bentuk menyalahkan pandangan orang lain terhadap agama yang sama atau berbeda yang menjadi berbahaya,” ujar
Dosen Ilmu Politik Fisip UB Malang, Ahmad Hasan Ubaid.

“Kemudian formulasi pemikiran itu diaktivasi dalam bentuk pergerakan itu yang mungkin berbahaya,” lanjut Hasan.

“Pranata sosial adalah ujung tombak untuk mendeteksi ancaman teroris. Selain itu, negara juga harus hadir untuk melakukan pengawasan dan counter-wacana ke lingkungan sekolah-sekolah,” pungkasnya. (Had)

Share: