

MALANG NEWS – Tidak banyak pihak yang mengetahui jika Umat NII (Negara Islam Indonesia) mempunyai tradisi yang unik dan nyeleneh.
Salah satunya adalah berhaji pada 1 Muharram di Al-Zaytun Indramayu, bukan ke Mekah karena Al-Zaytun dianggap ibu kota NII.
“Ibadah haji umat NII itu pada 1 Muharram di Al-Zaytun Indramayu, bukan ke Mekah. Al-Zaytun dianggap ibu kota NII,” tegas Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, Ken Setiawan, pada Selasa (10/8/2021).
“Saat ini NII juga punya program andalan, yaitu JAMMAS (Jalan Menuju Masyarakat Sejahtera) tapi faktanya yang sejahtera adalah pimpinan saja, sementara jamaahnya semakin miskin karena hartanya diminta untuk infaq atas nama perjuangan,” terang Ken Setiawan.
Ibadah haji dalam doktrin NII merupakan sebuah agenda tradisi rapat tahunan, setiap 1 Muharram disana mengadakan peringatan besar-besaran yang dihadiri para pejabat dan jamaah NII teritorial, mantan santri dan orang tua santri dari seluruh penjuru tanah air, biasanya hadir pula para pejabat tinggi pemerintahan.
Secara kasat mata, di Al-Zaytun memang tidak terjadi penyimpangan apapun, namun jika melihat dari dalam akan banyak sekali kita jumpai penyimpangan-penyimpangan yang tentunya berujung pada pola penggalangan dana, serta dukungan terhadap kelompok tertentu yang mengakibatkan pembodohan dan kemiskinanan berjamaah.
Salah satu contoh hasil wawancara Tim Investigasi NII Crisis Center pada peringatan 1 Muharram tahun ini, tim berhasil mewawancarai beberapa orang yang terlibat langsung dengan NII dan pengurus pesantren Al-Zaytun, diantaranya penderitaan muadhof (karyawan kerja rodi) yang tak kunjung berakhir, wawancara dengan mahasiswa Al-Zaytun yang turun ke jalan, mereka jualan nasi dan es yang dibungkus plastik, ada yang jual ayam goreng, bakso dan lainnya, tim juga berhasil mewawancarai jamah aktif NII dari teritorial Jakarta yang sedang berkunjung ke pusat negaranya yaitu Al-Zaytun.
Keberadaan para pahlawan pembangunan Al-Zaytun (muadhof) ternyata sangat menyedihkan, mereka hidup dengan segala keterbatasan, karena gaji kecil dan kebutuhan yang amat besar, jadi mereka harus hidup dengan amat menderita, banyak sekali diantara anak-anak mereka yang kekurangan gizi karena rendahnya dalam pemberian makanan yang bergizi.
Di tahun baru 1 Muharram ini para muadhof terpaksa berjualan air minum mineral, guna menambah penghasilan dan ada pula beberapa muadhof yang mengambil jalan pintas dengan cara mensuplay para santri yang membutuhkan sesuatu, yang tidak ada di dalam pesantren Al-Zaytun, walaupun hal itu dilarang misalnya jual rokok, mereka para muadhof membeli dengan harga biasa di luar pesantren lalu menjualnya dengan berkali lipat, tapi santri itupun membelinya juga, misal rokok yang dijual biasa cuma Rp 26 ribu mereka jual Rp 50 sampai Rp 100 ribu.
Ketika Team NII Crisis Center bertanya tentang perkembangan terbaru pesantren Al-Zaytun, para muadhof pun menjawab dengan lemah, katanya saat ini pembangunan macet total, kehidupan seperti dipenjara, sangat menderita, tapi karena syaikh Panji Gumilang sudah menganjurkan seperti itu ya mereka pun tak bisa berbuat apa-apa, karena gak ada pilihan lain, mau kembali ke RI katanya jadi orang kafir jahiliyah ya tidak mungkin? Mereka mengatakan lebih baik bertahan menunggu kemenangan NII entah sampai kapan tiba.
“Inilah realita yang terjadi di negeri ini, berbagai persiapan gerakan makar NII kini telah banyak gentayangan di sekitar kita, namun para aparat tinggi pemerintah baik sipil maupun militer hanya diam saja, seolah-olah sengaja membiarkan tumbuh berkembangnya faham yang sesat dan menyesatkan tersebut,” tegasnya.
“Faktor kebodohan atau memang ada konspirasi antara pejabat negara dengan Al-Zaytun? Kita semua paham, bahwa pada masa pemerintahan sebelum Pak Jokowi, kelompok radikal apa saja, NII, HTI, FPI, IMI dan lain lain tumbuh subur di negeri ini,” tuturnya.
“Beruntung di pemerintahan sekarang seperti HTI dan FPI sudah dilarang, tapi sayangnya NII Al-Zaytun belum tersentuh hukum, atau jangan-jangan ada orang kuat yang memelihara? Wallahu A’lam. Korban anak bangsa sudah terlalu banyak, terlalu mahal harga yang harus dibayar bila tragedi kemanusiaan atas nama agama ini terus berlanjut,” pungkas Ken Setiawan. (Had)