Ikuti Kami di Google News

Mantan Direktur Eksekutif Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI) Pengurus Besar (PB) HMI 2018-2020, Sudirman Hasyim. (Had)

MALANG NEWS – Cukup banyak pendapat bernada oposan, layak jadi masukan sebagai perbaikan mencari jalan keluar terbaik bagi semua pihak.

“Saya menilai ada 3 hal penting yang perlu diketahui terkait sorotan tentang pandemi, dan perpanjangan PPKM level 4. Yaitu, adanya inkonsisten kebijakan pemerintah dan Pemda, ancaman utang dan ancaman krisis multidimensi,” tegas Mantan Direktur Eksekutif Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI) Pengurus Besar (PB) HMI 2018-2020, Sudirman Hasyim, Jumat (6/8/2021).

“Sejak kemunculan pertama kali Virus Corona di Wuhan sampai saat ini telah memakan banyak korban jiwa. Hampir seluruh negara di dunia dibuat kalang kabut untuk menghadapinya, tak terkecuali Indonesia,” tegas pria yang kini menempuh pendidikan magister S2 di Universitas Nasional Jakarta.

Dikatakannya, menurut sejumlah pakar epidemiologi menyebut Indonesia sebagai episentrum pandemi, menggeser China, Amerika dan bahkan India.

Hal tersebut, suka atau tidak, secara tak langsung mengkonfirmasi bahwa pemerintah telah gagal menangani Covid-19.

Apapun alasannya pemerintah harus bekerja jauh lebih keras lagi dari sebelumnya. Mereka semua digaji dari hasil uang keringat rakyat.

Jadi pemerintah harus berkomitmen dan serius, apalagi sudah menggelontorkan dana yang cukup fantastis untuk menanggulanginya agar Indonesia keluar dari masalah Covid-19.

Per Desember 2020 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat total anggaran penanganan Covid-19 mencapai Rp 1.035,2 triliun.

Tetapi upaya itu secara nyata belum terlihat dari tingkat keberhasilannya dan juga tak selinear dengan besaran dana yang telah dikucurkan.

Per hari ini kasusnya masih tinggi walupun pemerintah sudah menerapkan berbagai kebijakan.

Kegagalan pemerintah tersebut jangan menjadikan rakyat sebagai kambing hitam, kasihan mereka yang hampir setiap hari hidupnya selalu dibayangi kemelaratan akibat buah dari kebijakan pemerintah yang tak konsisten sejak dari awal kemunculan virus Corona, bahkan pemerintah melalui Menkes RI pada saat itu dengan entengnya menyebut Indonesia tidak akan tertular virus Corona. Kenyataan setelah itu virusnya langsung membludak di seluruh Indonesia.

INKONSISTENSI KEBIJAKAN PPKM

Hampir dua tahun Covid-19 menyusahkan kita semua dan kondisi ini tak ada yang bisa memastikan berakhirnya sampai kapan selama obatnya belum juga ditemukan.

Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah, termasuk mengeluarkan beberapa kebijakan yang telah diputuskan, mulai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diperketat, hingga PSBB transisi dan yang terakhir Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sampai level empat yang diperpanjang sampai 9 Agustus 2021 dan kemungkinan akan diperpanjang lagi kalau dilihat dari pergerakan kasus Covid-19 beberapa hari terakhir ini.

Meski kebijakan-kebijakan tersebut telah diberlakukan, namun kondisi kesehatan masyarakat masih belum teratasi dengan baik, bahkan tingkat keparahannya semakin tinggi dan mengkhawatirkan. 

Belum lagi diantara para elit dan pejabat kerapkali mengeluarkan pernyataan yang saling bertentangan sehingga rakyat kebingungan harus mengikuti kebijakan yang dikeluarkan siapa, apakah dikeluarkan oleh Airlangga Hartanto (Menko Perekonomian), atau Luhut Binsar Panjaitan (Menko Kemaritiman dan Investasi) atau Budi Gunadi Sadikin (Menteri Kesehatan),  atau Presiden Jokowi itu sendiri ? 

Hal ini secara tidak langsung menguatkan pendapat publik, ada ketidakberesen dalam manajemen kepemimpinan di internal pemerintah Jokowi dan Ma’aruf Amin.

Para pembantu Presiden Jokowi di kabinetnya terlihat berjalan sendiri-sendiri dan tidak bisa menterjemahkan pikiran dan kemauan seorang presiden.

Selain dari itu, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah koordinasinya saling bertabrakan, bahkan tak sedikit pemerintah daerah yang membanggakan dengan kebijakan pemerintah pusat, entah di balik semua itu ada nuansa politik yang sebenarnya disembunyikan oleh para elit pengelola kekuasaan.

Masalah pemerintahan Jokowi ini menumpuk, belum lagi inkosistensi kebijakan yang dibuatnya, mulai dari kebijakan PSBB dan turunannya sampai PPKM level empat lanjutan banyak yang mempersoalkan dan rumusan hukumnya yang tidak jelas.

Tidak ada jaminan kesehatan bagi masyarakat. Bahkan, Prof Yusril Ihza Mahendra menyebut salah kebijakan dapat menyebabkan genoside atau kematian massal.

Pemerintah kita ini kerapkali inkonsistensi mengenai kebijakannya, dalam rezim UU kekarantinaan kesehatan yang dikenal hanya dua, yaitu karantina dan PSBB, sehingga tidak dikenal istilah PPKM.

Pemerintah bukan saja gagal menerapkan kebijakannya, tapi gagal memenuhi amanat konstitusi, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Mungkin kondisinya tak separah ini seandainya dari awal pemerintah melakukan lockdown atau karantina wilayah, seperti yang tertuang dalam UU 6/2018 Tentang Karantina Kesehatan.

Dalam hal penyakit yang menular seperti ini harus dilakukan Karantina Wilayah, pemerintah malah mengabaikannya demi menyelamatkan perekonomian.

Tapi faktanya saat ini kita bisa lihat, antara menyelamatkan nyawa rakyat dan perekonomian sama-sama gagal. Alasan pemerintah memilih tak melakukan lockdown tidak ada uang, tapi dalam waktu yang bersamaan pemerintah terus meningkatkan nilai utangnya.

UTANG MENGKHAWATIRKAN

Setiap kali pemerintah berutang selalu mendatangkan polemik di tengah-tengah masyarakat.

Ada yang mendukung dan tak sedikit juga yang menolaknya, bahkan kerapkali mengecam dan menghujatnya.

Hutang pemerintah pusat yang penulis kutip dari data situs APBN kita yang secara berkala dirilis Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah Indonesia per akhir April 2021 adalah tercatat sebesar 6.527,29 triliun.

Perlu penulis garisbawahi, bahwa utang sebesar itu bukan semua karena akibat pandemi Covid-19, tapi utang tersebut hasil dari dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi.

Setiap tahun grafik hutang pemerintah menunjukan kenaikan, dari tahun 2019 ke 2021 naik sekitar 14,5 persen. Dengan total utang sebesar itu, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) saat ini yakni sudah menembus 41,18 persen.

Kerentanan utang Indonesia pada 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Internasional Moneter (IMF) dan/atau International Debt Relief (IDR).

Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) 2020 menunjukkan rasio debt service terhadap penerimaan telah mencapai 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35 persen.

Utang tersebut ini nyaris melampaui yang disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas aman rasio utang di level 60 persen terhadap PDB.

Total utang ini membuat khawatir banyak kalangan, terutama datang dari pemerintah itu sendiri melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga auditor ini menyatakan kekhawatiran kesanggupan pemerintah dalam melunasi utang plus bunga yang terus membengkak sejak beberapa waktu terakhir dan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terus meningkat di era kepemimpinan Jokowi.

Mencermati masalah diatas tak sepenuhnya salah ada yang menyebut Periode kepemimpinan Jokowi sebagai rezim hutang. Mengenai utang ini pasti yang dibebankan lagi rakyat Indonesia melalui APBN.

Jangan sampai Indonesia masuk dalam perangkat dan jebakan utang, karena ada beberapa pengalaman negara lain tidak dapat membayar kembali utang yang mereka tanggung, dan ini bisa mengancam kedaulatan bangsa dan negara kita.

ANCAMAN KRISIS

Pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan global secara dramatis. Terkait masalah ini tak hanya jadi masalah kesehatan, penyebaran virus ini juga menghentikan roda perekonomian global.

Akhir-akhir ini banyak kantor, pabrik dan pusat perbelanjaan tutup, transportasi sebagian besar berhenti beroperasi. Kemarin (1/8/2021), seluruh gerai Giant resmi tutup setelah sebelumnya PT. Hero Supermarket (HERO) mengumumkan akan menutup seluruh gerai miliknya pada bulan Mei lalu.

Selain dari itu PT. Ramayana juga akan menutup. Kemungkinan akan banyak lagi kasus yang serupa, artinya krisis ekonomi kita itu bukan lagi prediksi, tapi sudah terjadi.

Menurut IMF, dampak krisis ekonomi ini  sangat tergantung pada faktor-faktor yang sulit diprediksi, seperti epidemiologi virus, kemanjuran upaya pembatasan serta perkembangan temuan pengobatan dan vaksin.

Ditambah lagi, kini semakin banyak tekanan yang dihadapi negara-negara di seluruh dunia, antara lain krisis kesehatan, keuangan, dan runtuhnya harga komoditas.

Bahkan, sekalipun pandemi berakhir, lansekap ekonomi global sudah tak sama lagi. Perlu penulis sampaikan, sebelum pandemi Covid-19 muncul, kondisi ekonomi Indonesia memang kurang baik.

Mengenai krisis ini jika tidak ditangani serius oleh pemerintah Jokowi bukan tidak mungkin akan menurunkan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia.

Di dalam negeri nampaknya sudah mulai menurun tingkat kepercayaan masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.

Kalau kepercayaan terhadap pemerintah terus merosot biasa jadi akan menimbulkan gejolak sosial politik dan berjuang pada runtuhnya kewibawaan pemerintahan Jokowi, atau sangat memungkinkan rakyat melakukan caranya sendiri untuk melakukan evaluasi total kepemimpinan Jokowi sekarang. 

Penulis berharap pemerintah lebih profesional dan amanah menangani pandemi, benar-benar harus dibangun diatas asas melindungi kesehatan dan nyawa masyarakat, bukan untuk melanggengkan kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu yang berada dalam lingkar kekuasaan.

“Jangan sampai rezim Jokowi dikenang oleh generasi mendatang sebagai pemimpin yang tidak memiliki nurani dan empati terhadap pemenuhan hak kelangsungan hidup dan masa depan rakyatnya,” pungkasnya. (Had)

Share: