MALANG NEWS – Hingga kini recovery penanganan korban gempa Malang terus dikebut, agar terjadi percepatan pemulihan kondisi.
Beberapa waktu lalu di awal pasca terjadinya gempa, sempat terlontar rencana relokasi bagi korban gempa yang rumahnya sudah tidak bisa dihuni lagi.
Fakta di lapangan menunjukkan selain terjadi penolakan warga untuk direlokasi, kenyataannya sampai sekarang sebagian masyarakat korban gempa menunggu realisasi bantuan yang dijanjikan Pemerintah.
Bahkan ironisnya ada sebagian warga yang terpaksa berhutang untuk membangun rumah. Semisal Wakhid, warga RT 05, RW 01, Desa Majang Tengah, Dampit, terpaksa berhutang kepada majikannya sebesar Rp 6,5 juta lebih berupa material bahan bangunan, berupa besi kolom, semen, pasir dan peralatan.
“Saya menyambut baik rencana atau gagasan relokasi rumah warga terdampak gempa bumi di Dampit Tirtoyudo Ampelgading atau juga di daerah lain. Tetapi perlu dipertimbangkan tanggapan dan penerimaan warga itu sendiri, sebab merelokasi rumah itu tidak sekedar memindahkan tempat tinggal tetapi ada faktor-faktor lain yang perlu menjadi pertimbangan,” terang Wakil Ketua MWC NU Dampit, Miskari, Senin (17/5/2021).
“Merelokasi warga yang rumahnya ada di perkotaan atau di perumahan untuk dipindah ke tempat lain dan kemudian dibangunkan rumah itu mudah, karena warga perkotaan biasanya rumahnya sempit, kemampuan mobilitasnya tinggi menuju ke tempat kerja mereka.
Tapi bagaimana dengan mereka yang rumahnya ada di pedesaan?,” tuturnya.
“Meskipun mereka tinggal di bukit-bukit di tebing-tebing yang aksesnya sulit dan oleh sebagian pihak dianggap cukup berbahaya tetapi memindahkan mereka tidak mudah,” urainya.
“Masyarakat pedesaan itu memiliki pertimbangan kedekatan dengan lahan pertanian, kedekatan dengan kerabat atau family mereka, juga membutuhkan luasan lahan yang cukup luas, karena mereka butuh pekarangan dan tentu pemerintah akan kesulitan menyediakan lokasi yang sesuai dengan keinginan masyarakat seperti itu,” imbuhnya.
WARGA MENUNGGU REALISASI BANTUAN PEMERINTAH
“Bagi saya relokasi bisa diterima untuk dilakukan terhadap warga korban yang ada di perkotaan ambil contoh yang ada di di Pamotan Dampit terutama yang di perumahan,” tegasnya.
“Tapi perlu juga dipertimbangkan apakah benar kerusakan rumah warga akibat gempa itu karena faktor lokasi atau justru karena faktor struktur bangunan yang kurang kokoh?,” tanya dia.
“Maka saya berpendapat relokasi itu bukan pilihan utama, yang paling penting adalah membantu merehabilitasi rumah warga secara lebih cepat,” katanya.
Pemerintah sudah berstatemen tentang rencana bantuan bagi warga yang rumahnya rusak berat, sedang dan ringan. Warga menunggu eksekusi dari kebijakan itu,” tukasnya.
“Yang kita khawatirkan adalah syarat yang berlaku dari kebijakan itu termasuk status kepemilikan lahan misalkan harus bersertifikat. Nah ini tentu menyulitkan karena saya melihat para korban yang ada di berbagai desa ini rata-rata status tanahnya bukan sertifikat,” sambungnya.
“Relokasi perlu dipertimbangkan untuk dilakukan secara selektif jika memang sangat tidak memungkinkan korban membangun lagi rumah di tempat itu, itupun jika warga masih punya tanah lebih baik disarankan untuk pindah ke tanah yang bersangkutan di tanah yang lainnya. Anggaran pemerintah bisa dialokasikan untuk hal-hal lain yang pasti sangat dibutuhkan untuk rehabilitasi bencana ini,” pungkasnya. (Had)