MALANG NEWS – Potret Sosio kultural dan Eco-Demografis Desa di Indonesia sangat memprihatikan jika dilihat dari semakin banyaknya warga yang hengkang dari tanah kelahirannya dan memilih menjadi PMI (Pekerja Migran Indonesia).
Bukan hanya kelestarian nilai-nilai budaya lokal punah, namun adanya fenomena tersebut menjadikan desa jauh dari kemajuan dan kemakmuran karena beragam potensi desa mubazir tak tereksplorasi.
“Dengan konsep dan pengelolaan yang benar dan bijak, maka wisata desa bisa menjadi salah satu alat yang cukup efektif untuk membangun semangat masyarakat desa agar kembali pulang ke desanya. Masyarakat desa bisa menemukan kembali cara membangun “zona nyaman” dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan spiritualnya tanpa harus meninggalkan desa,” tegas Founder Yayasan Hiduplah Indonesia Raya (Hidora) Bachtiar Djanan, Senin (17/5/2021).
Maka, kesadaran masyarakat desa akan terbangun, untuk menjaga alam, menggali, mempelajari kembali, dan merawat budaya yang mereka miliki. Kelestarian alam dan budaya masyarakat desa akan menjadi nilai-nilai positif yang menarik untuk dipelajari dan menjadi sumber inspirasi bagi tamu-tamu wisata yang datang ke desa.
Dengan paradigma tersebut, maka perlulah ada orang-orang yang mau dan mampu untuk bergerak dalam ranah pariwisata, namun tidak sekedar menggeluti pariwisata sebagai urusan bisnis dan finansial belaka.
Pariwisata perlu digerakkan dalam koridor yang produktif bagi kemaslahatan masyarakat. Bagaimana pariwisata adalah mengenai kemanusiaan dan masyarakat, bagaimana pariwisata bisa menjadi salah satu metode efektif, untuk merawat alam dan budaya, serta melahirkan nilai-nilai. Dan, bagaimana pariwisata menjadi alat untuk membangun kedamaian dan perdamaian. Diharapkan Nilai-nilai dari desa menginspirasi nusantara. Nilai-nilai dari desa menginspirasi dunia.
Hengkang dari Desa
Kehidupan modern yang sarat dengan aspek materiil membuat banyak pergeseran dalam cara pandang dan cara hidup masyarakat untuk mendapatkan zona nyamannya. Makin terbukanya jendela informasi di era digital ini menjadi salah satu penyebab utama pergeseran ini.
Iming-iming gaya hidup hedonis metropolitan menyelinap sampai ke pelosok-pelosok desa melalui berbagai media digital, menularkan angan-angan semu tentang “zona nyaman” modern kepada masyarakat desa. Terbitlah keinginan-keinginan baru yang menjelma menjadi kebutuhan hidup baru.
Sebagian masyarakat desa menjadi makin “jauh” dengan bumi yang seharusnya dipijak dan langit yang seharusnya dijunjung. Mereka tak sanggup lagi mengolah alam desanya, gagal berpikir dalam menemukan cara menciptakan zona nyaman mereka di desanya sendiri.
Mereka kehilangan sinergi dan harmonisasi dengan manusia, alam, dan spiritual, yang ada di antara bumi dan langit di desanya. Demi pemenuhan kebutuhan hidup (dan keinginannya), sebagian masyarakat desa memilih cara instan. Akhirnya mereka memilih meninggalkan desanya dalam upaya mencari nafkah, baik merantau bekerja ke kota-kota besar, bahkan ke luar negeri sebagai TKI.
Desa ditinggalkan. Warisan-warisan budaya dari generasi sebelumnya (berupa cara bertahan hidup bersama alam, tradisi, dan ritual) tidak lagi ada yang meneruskan, tidak lagi dikerjakan, bahkan terlupakan. Hilanglah zona nyaman, hilanglah nilai rasa kedamaian, lunturlah budaya, dan keruntuhan bangsa telah menanti.
Jadi, bagaimana solusi untuk menjaga kelestarian budaya, khususnya di desa?
Maka salah satu hal yang perlu dijawab adalah bagaimana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan zona nyaman (terutama untuk pemenuhan kebutuhan hidup dasar), yang seharusnya bisa mereka dapatkan di desanya sendiri. Disinilah negara wajib hadir, negara tidak boleh tidak tinggal diam, negara harus memfasilitasi dan mendorong munculnya langkah-langkah yang solutif.
Wisata Desa
Wisata desa dapat menjadi salah satu solusi untuk menjawab hal pemenuhan kebutuhan hidup dan mengurangi urbanisasi pemuda desa ke kota (dan luar negeri), sekaligus sebagai salah satu alat untuk melestarikan budaya dan alam serta lingkungan hidup di desa.
Alam desa yang indah, kekhasan dan keunikan budaya (kesenian, tradisi, kearifan tradisional, kehidupan pertanian, kehidupan nelayan, dll) yang dimiliki oleh masyarakat desa, sebenarnya merupakan daya tarik wisata.
Namun, tentunya memerlukan konsep serta pengelolaan yang benar dan bijak, agar tidak menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari. Dalam ranah dunia pariwisata, budaya menjadi salah satu unsur penting yang menjadi daya tarik berkunjungnya wisatawan ke suatu daerah.
Berdasarkan riset, didapatkan data bahwa daya tarik wisata di Indonesia adalah: Alam (35%), Budaya (60%), dan Man Made/buatan (5%). Mengapa pariwisata dianggap cukup strategis sebagai alternatif solusi? Karena pariwisata tidak mengenal batas negara, suku, agama, ras, gender, dan tidak bisa diembargo.
Pariwisata hanya akan terhambat jika terjadi bencana alam dan perang, atau kekacauan keamanan. Secara ekonomi pariwisata juga mampu menyerap keuntungan finansial yang bisa terdistribusi langsung kepada masyarakat sampai ke pelosok-pelosok desa yang menjadi daerah tujuan wisata.
Namun tidak bisa dipungkiri, ada resiko-resiko yang harus diperhitungkan, ada koridor-koridor yang harus dibuat dan dijaga, agar wisata desa tidak malah menimbulkan permasalahan baru di desa. Karena pariwisata itu seperti api, bisa untuk memasak makanan kita, namun bisa pula membakar dapur bahkan rumah kita.
Berbasis Value
Wisata desa berbeda dengan desa wisata. Desa wisata cenderung untuk membuat bagaimana desa dikembangkan menjadi obyek wisata, sehingga tak jarang desa “mengada-adakan” sesuatu yang mungkin tidak sesuai dengan karakter budaya asli yang ada di desa, demi mengejar dan menyesuaikan trend serta kebutuhan wisatawan.
Sementara, untuk konsep wisata desa lebih pada mengemas apa-apa yang sudah ada dan dimiliki desa, agar lebih layak dikunjungi tamu. Daya tarik wisatanya adalah apa yang menjadi karakter alam dan budaya masyarakat desa. Jadi, jika desa wisata berbasis pada vanue atau place (tempat), sementara wisata desa lebih berbasis pada values (nilai-nilai).
Dengan konsep wisata desa yang berbasis values, wisatawanlah yang “digiring” untuk belajar, memahami, menghargai, menghormati, bahkan tertular values yang ada di masyarakat desa. Bukan masyarakat desa yang tertular dan mengikuti perilaku serta budaya yang dibawa wisatawan.
Maka, alam, budaya, dan value warisan leluhur perlu digali, dipetakan kembali, dan dipelajari oleh anak-anak muda, dijaga serta dilestarikan oleh masyarakat desa. Selain itu, bagaimana organisasi, manajerial, sistem, penguatan sdm, rambu-rambu, dan koridor dalam pengelolaan wisata desa, harus dibangun dan disepakati bersama, agar desa tidak kehilangan akar budaya akibat hadirnya aktivitas wisata desa.
Agar tidak terjadi salah visi, salah arah, dan salah kelola, maka dalam konsep pengembangan wisata desa ini diperlukan pendampingan dan akselerasi, untuk membangun sinergi pihak-pihak terkait, mulai dari pemerintah, akademisi, praktisi, media, seniman, budayawan, pelaku UMKM, sesepuh desa, tokoh masyarakat, dan pemuda.
Pemuda dan Desanya
Salah satu kunci utama dalam mengkonservasi budaya di desa, melestarikan alam dan lingkungan hidup di desa, mengembangkan wisata desa, dan membangun desa, adalah berada di tangan anak-anak muda desa. Anak-anak muda adalah ujung tombak desa.
Di jaman serba digital dan material ini, menjadi sebuah pekerjaan besar untuk dapat membangun ketertarikan anak-anak muda dalam memahami potensi alam di desanya, memahami harta karun budaya yang dimiliki desanya, dan tergerak untuk menjadi generasi penerus yang mampu melestarikan alam, lingkungan hidup, dan budaya warisan dari leluhur.
Perlu ada “jembatan” yang bisa mengajak anak muda merasa penting untuk turut serta terlibat menjaga warisan leluhur, namun tidak harus membuat mereka merasa tertinggal dengan kemajuan teknologi dan perkembangan era digital.
Aktivitas wisata desa dapat menjadi salah satu cara untuk menjembatani hal tersebut. Keunikan dan kekhasan alam serta budaya desa yang menjadi daya tarik wisata dapat menjadi media pembelajaran bagi anak muda desa untuk mengembangkan diri dalam memanfaatkan teknologi digital secara produktif bagi kemajuan desanya.
Melalui teknologi digital, anak muda dapat bereksplorasi dalam mendokumentasikan, memetakan, mempublikasikan, sampai memasarkan potensi desanya secara digital, dengan jangkauan global tanpa batasan teritorial.
“Selain itu, melalui kegiatan pengembangan dan pengelolaan wisata desa, anak muda desa akan belajar mengenai leadership, berorganisasi, berwirausaha, pelayanan, marketing, menjaga kelestarian alam, melestarikan budaya, dan segala hal terkait dengan peningkatan kualitas SDM,” pungkas Bachtiar Djanan. (Had)