

MALANG NEWS – Sudah dua kali ini Hari Raya Idul Fitri kita laksanakan dalam situasi yang sama, yakni situasi dimana kita semua masih berjuang bersama-sama menghadapi pandemi Covid-19.
“Idul Fitri adalah hari kemenangan umat islam, atas perjuangan melawan ego dan hawa nafsunya selama bulan Ramadhan. Selama satu bulan penuh kita ditempa dengan adanya kewajiban berpuasa. Dimana makna daripada itu tidak hanya sekedar menahan lapar dan dahaga, namun juga menahan segala hal yang berasal dari hawa nafsu dan egoisme dalam diri kita,” tandas Pengurus Aswaja NU Center Kabupaten Malang, Muhammad Mihron Zubaidi atau yang akrab disapa Gus Ubaid, Kamis (13/5/2021).
Pria yang juga Ketua PAC GP Ansor Kecamatan Turen ini mengatakan, maka, sudah sewajarnya, bila di hari nan fitri ini kita merayakan kemenangan atas nafsu dan ego kita. Namun yang banyak orang tidak memahami adalah, sudahkah kita benar-benar memenangkan pertarungan tersebut, atau kita hanya sekedar mendapatkan lapar dan dahaga, tentu hal itu bisa kita lihat dari seberapa melekatnya efek daripada puasa itu dalam diri kita, jika kita mampu untuk menahan lapar dan dahaga namun masih sering memenangkan ego kita di hal-hal yang lain, mungkin kita masih belum memenangkan pertarungan itu seutuhnya.
“Di tengah-tengah pandemi ini, pemerintah melarang kita untuk mudik dengan dasar untuk mencegah penyebaran Covid 19. Maka dalam menyikapi hal ini, mereka yang betul-betul telah memenangkan pertarungannya dengan sifat egoismenya, tentu akan patuh dan mentaatinya,” tuturnya.
“Solidaritas kita untuk saling menjaga dari marabahaya satu sama lain adalah salah satu ciri daripada meningkatnya ketakwaan kita dan meningkatnya ketakwaan adalah merupakan indikator kemenangan di hari nan fitri dan suci ini,” jelasnya.
Terkait ini Allah menjelaskan dalam Al quran dimana Allah memberikan bukti bahwa sebagian ciri dari ketakwaan dalam diri seseorang adalah mau menginfaqkan hartanya untuk sesama, mau memaafkan kesalahan orang lain dan mampu menahan amarah.
“Intinya adalah mampu untuk saling peduli satu sama lain, termasuk saling menjaga satu sama lain dari ganasnya Covid 19 ini merupakan indikator kemenangan kita di hari yang suci ini,” urainya.
“Maka, bagaimana kita menyikapi terkait budaya kita saling bersalaman dan bersilaturahim dalam situasi pandemi ini. Tentu kita harus lebih cerdas dalam memahaminya, bahwa bersalaman tujuannya adalah agar dosa-dosa kita khususnya hak-hak adami bisa termaafkan, maka yang paling penting adalah bagaimana kita bisa saling memaafkan satu sama lain, saling menghilangkan kesalahpahaman, saling menghilangkan rasa dendam dalam diri kita,” tukasnya.
“Begitu pula silaturahmi, tidak hanya sekedar dimaknai sebagai anjang sana anjang sini, tapi lebih daripada itu, silaturahmi adalah menjalin persaudaraan, menjalin hubungan baik, menjaga ukhuwah kepada sesama,” imbuhnya.
“Maka yang terpenting bukanlah perjumpaannya, akan tetapi saling memaafkan dan saling menjaga hubungan baik antar sesama bahkan kalau perlu saling mendoakan satu sama lain. Karena Rasululloh mengajarkan kita untuk saling mendoakan antar sesama muslim,” paparnya.
“Jika demikian adanya, maka pandemi ini sama sekali bukan halangan bagi kita untuk merayakan kemenangan di hari raya ini. Larangan mudik bukanlah hal yang juga menghalangi kita untuk saling berjabat tangan dan bersilaturahmi, tentu berjabat tangan dengan makna yang lain yakni saling memaafkan dan silaturahim dalam makna sebenarnya yakni saling menjaga ukhuwah dan peduli dengan sesama,” tegasnya.
“Tanpa mudik Lebaran tetap asik, jika kita mampu mengolah hati dengan baik. Semoga seluruh ibadah kita diterima oleh Allah, dan semoga kita semua benar-benar meraih kemenangan kita atas ego kita, dan semoga bangsa kita segera terbebas dari pandemi ini. Amin ya robbal alamin” pungkasnya. (Had)