Ikuti Kami di Google News

Azizi, SH, Ketua Kelompok Tani Cinta Mangrove
Azizi, SH, Ketua Kelompok Tani Cinta Mangrove. (Had)
MALANG NEWS – Selama 20 tahun Azizi, SH, Ketua Kelompok Tani Cinta Mangrove berhasil menyulap dan menghijaukan pesisir seluas 456 hektar area di Pantai Sejarah Kabupaten Batu Bara, Provinsi Sumatera Utara dengan Tanaman Mangrove.


Ragam hasil dan manfaat, yang kini dirasakan tentu membutuhkan perjuangan melelahkan dan pengorbanan yang besar. Berikut interview dengan Azizi selengkapnya.

Bagaimana cerita awal mula program pelestarian mangrove dan pengembangan pariwisata Pantai Sejarah, dan tahun berapa Bapak memulainya?

Azizi: Kami dari kelompok Tani Cinta Mangrove memulai kegiatan penanaman Mangrove atau rehabilitasi hutan Mangrove. Kami awali pada tahun 2002. Kemudian kami melakukan kegiatan pembibitan lagi pada tahun 2003. Pada tahun 2003 kami lebih banyak memfokuskan penanaman Mangrove di Desa Gambus Laut. Saat itu kami melakukan reboisasi yang dibantu oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Asahan.

Setelah kami selesai melakukan kegiatan reboisasi Mangrove pada tahun 2003 di Desa Gambus Laut dengan luas lebih kurang 30 ha, sedikit demi sedikit mulai bisa dirasakan manfaat dari hutan Mangrove tersebut. Awalnya lahan-lahan tersebut gundul, kosong, tak ada kepiting, ikan pun sulit. Kemudian lambat laun masyarakat mulai merasakan untuk bisa lebih mudah dalam mencari Kepiting di sana.

Pada tahun 2006 kami bekerjasama kembali dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan melalui program GERHAN (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan) Kabupaten Asahan. Setelah itu berlanjut kegiatan-kegiatan lainnya bersama teman-teman dari perusahaan, adapun bantuan dana dari CSR (Corporate Social Responsibility). Pada tahun 2010 kami melakukan kegiatan kembali bersama beberapa NGO (Non Government Organization) yang berada di Sumatera Utara.

Kemudian kami terus melakukan kegiatan penanaman ini dan selanjutnya, lahan yang kami tanam tersebut kami sertifikasikan. Pada tahun 2006 diengan mekarnya Kabupaten Batu Bara, kami melakukan kegiatan penanaman kebun bibit rakyat Mungkin dari kegiatan ini, satu-persatu anggota Kelompok Tani Cinta Mangrove perlahan mulai menyadari manfaat hutan Mangrove, sebagian nelayan juga mulai menyadari pentingnya hutan Mangrove ini.

Pada tahun 2010 dan 2015 kami mencoba bekerjasama dengan BPHM (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove) wilayah Sumatera. Dari sanalah, kami didukung oleh Kepala Balai Hutan Mangrove untuk melakukan kegiatan- pembibitan-pembibitan. Kemudian Balai Pengelolaan Hutan Mangrove berubah menjadi pengelolaan Perhutanan Sosial atau BPSKL (Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hidup).

Disana kami merasakan bagaimana dengan kebijakan Bapak Jokowi, terlihat adanya perubahan implementator yaitu adanya Perhutanan Sosial. Di Perhutanan Sosial kelompok kami boleh mengakses hutan ini melalui izin usaha pemanfaatan atau disingkat dengan HKm (Hutan Kemasyarakatan). Pada tahun 2017 kami mencoba mengakses itu, dan pada tahun 2018 kami mendapatkan izin untuk pengelolaan kawasan hutan seluas lebih kurang 456 hektar.

Setelah tahun 2018 kami mendapatkan izin perhutanan sosial, kami berfikir lagi bagaimana mengembangkannya setelah izin sudah ada. Tentu tidak hanya persoalan tentang rehabilitasi-rehabilitasi hutan saja, anggota pasti bingung kalau hanya kita bekerja menanam saja, sementara yang lain-lain kita tidak dapat mengakses apapun. Maka kami terpikirkan tentang pengembangan jasa lingkungan, kami mencoba bekerjasama dengan Pemkab Batu Bara dalam mengembangkan pariwisata.

Awalnya kami melakukan konsolidasi dengan pemerintah Batu Bara melalui Dinas Perikanan dan kelautan, Dinas Pariwisata, Dinas UMKM dan beberapa instansi lainnya. Untuk mencoba membangun ekowisata Mangrove. Bagaimana mangrove ini bisa menjadi tempat wisata, dengan itulah tujuan kami yang lalu. Sehingga Pemerintah Batu Bara melalui Bapak Bupati yaitu Pak Zahir, ternyata program-program kami didukung sepenuhnya, sehingga kami pada awalnya mendapatkan program pembangunan jembatan distribusi perikanan. Jembatan tersebut sebenarnya kami peruntukkan kepada anggota kelompok nelayan yang mengembangkan kerambah kerang. Dari program membangun jembatan untuk kerambah Kerang, maka jalan tersebut diberi nama Jl. Produksi Perikanan.

Setelah terbangun Jalan Produksi Perikanan tersebut, pada akhir tahun 2020 banyak antusias masyarakat ingin melihat wajah Pantai Sejarah ini. Pantai Sejarah ini adalah jalan Asahan yang di mana dulunya terdapat pantai yang indah dan juga pasir yang putih. Kemudian dengan waktu yang berjalan Pantai Sejarah ini berubah menjadi tempat mesum. Maka saya berfikir bagaimana membangun ekonomi masyarakat yang berada disekitar sini dan di seputaran hutan ini, tetapi tidak dengan hal yang negatif ini.

Setelah itu kami mencoba berkordinasi dengan Pemkab Batu Bara, bagaimana tempat mesum ini kita hilangkan kemudian diganti dengan membangun sentra ekonomi yang lain. Dalam masa pandemik Covid-19 ini mengapa kita tidak membangun sumber ekonomi yang lain bagi masyarakat?

Ternyata, apa yang kami sampaikan kepada Pemkab Batu Bara disambut baik sekali. Maka kami bangunlah gazebo-gazebo yang ada di sekitaran jalan produksi perikanan tersebut, sebagai central kuliner di Pantai Sejarah nanti untuk mendukung bagaimana Pantai Sejarah ini menjadi ikon wisata Batu Bara ke depan, dari sini juga kami coba membangun itu dan Pemkab mendukung penuh Pantai Sejarah ini sehingga terwujudlah keinginan kami bagaimana kami bisa mendapatkan jasa lingkungan dalam mengelola hutan Mangrove yang hutan tersebut tidak kami rusak tetapi kami dapat menghasilkan dalam hutan ini.

Hal ini yang ingin saya contohkan kepada semua orang bahwa kita bisa mendapatkan hasil dalam hutan ini tanpa harus merusak hutannya. Tinggal persoalannya bagaimana kita mau mengelola ini dengan baik. Kemudian Bupati Batu Bara mendukung Kembali untuk membangun central-central kuliner yang lain untuk bagi tempat-tempat orang berjualan.

Dari sinilah menggeliatnya ekonomi masyarakat yang berada di pantai, tidak terpikirkan oleh mereka lagi mengenai pondok-pondok yang dulunya menjadi tempat mesum. Dengan adanya perubahan yang cukup kencang yang dilakukan oleh Pemerintah Batu Bara akhirnya menjadi ikon wisata untuk ke depannya.

Ada berapa orang anggota kelompok yang berpartisipasi dalam pengembangan Mangrove ini, berasal darimana dan dari kalangan apa saja?

Azizi : Kelompok Tani Cinta Mangrove ini berdiri pada tahun 2002 beranggotakan lebih kurang 20 atau 22 orang saja. Semula para anggota didominasi oleh ibu-ibu. Setelah HKm ini kami sekarang punya anggota lebih kurang 142 orang.

Dari 142 orang juga belum dapat mengakses Kawasan hutan ini dengan baik. Saat ini anggota kami berasal dari Desa Gambus Laut dan Desa Prupuk. Anggota kami juga berasal dari kalangan nelayan, pencari kepiting, dan ada yang dulunya kalangan yang tidak bertanggung jawab terhadap hutan tersebut, yaitu dulu mengambil kayu untuk membuat dapur arang. Pada akhirnya, orang yang membuat dapur arang tersebut sudah tergabung dengan kami. Kawasan-kawasan mangrove yang rusak dulunya, saat ini merekalah yang melakukan penanaman-penanaman mangrove.

Apa kendala yang dialami ketika mengembangkan kelompok Tani Cinta Mangrove dan dalam pengembangan pariwisata? Serta, harapan Bapak ke depannya seperti apa?

Azizi : Kendala-kendala yang kami hadapi masih banyak masyarakat yang kurang paham dan belum menyadari keberadaan hutan mangrove dan betapa pentingnya hutan mangrove tersebut. Jikalau kita membahas tentang abrasi maka mereka menganggapnya seperti angin lalu.

Kemudian, hutan Mangrove belum terlalu dianggap oleh nelayan sebagai tempat berpijah dan berkembangbiaknya biota laut. Padahal, manfaat hutan Mangrove sangat penting bagi masyarakat di wilayah pesisir.

Alasan saya mengatakan seperti itu, sebab masih banyak dan masih marak kerusakan hutan Mangrove dimana-mana, beralih fungsinya hutan mangrove menjadi perkebunan Sawit, beralih fungsinya hutan Mangrove kepada tambak. Ketika tambak hancur, hutan Mangrove rusak tetapi tidak dihijaukan kembali.

Saat ini kendala kami yang terberat adalah dengan isu PELINDO, dengan isu Petrokimia dan dengan isu Batu Bara ini menjadi kawasan industri, banyak yang mengisukan hutan Mangrove di Batu Bara akan habis dan tidak ada gunanya lagi. Maka, banyak mafia-mafia lahan yang memperjual belikan lahan Mangrove ini, sehingga ada kerusakan seperti yang dilihat ada yang dirusak dan ditebang. Sehingga orang berfikir bahwa mafia-mafia tersebut yang memiliki lahan tersebut.

Kemudian, kendala kami selanjutnya adalah kurangnya penegakan hukum dan ketegasan aparat pemerintah terutama dalam bidang hukum tentang kerusakan-kerusakan hutan ini. Belum ada efek jera yang saya tahu, karena kami dari kelompok sudah puluhan kali melaporkan tentang pengrusakan hutan, tapi belum ada satu pun yang pernah diproses dengan baik. Sehingga itulah kendala-kendala terberat kami di dalam mengembangkan kelompok dan melestarikan hutan Mangrove ini.

Walaupun demikian, kendala-kendala yang saya hadapi, selagi saya masih ada, selagi nafas saya masih ada, saya akan tetap memperjuangkan dalam hal melestarikan hutan Mangrove ini. Kemudian, selagi masih ada orang-orang dan kawan-kawan masih ada semangat yang tinggi yang akan mendukung ini, saya akan tetap memperjuangkan Kawasan hutan Mangrove ini berdiri di bumi Kabupaten Batu Bara, khususnya di dalam Kawasan HKm kami. Tantangan-tantangan luar saya akan hadapi dengan cara apapun mereka ingin mencoba menghalangi saya, saya akan hadapi itu, selagi nyawa saya masih ada. (Had)

Share: