Ikuti Kami di Google News

Azizi, SH., demikian nama bapak empat anak, sang Ketua Kelompok Tani Cinta Mangrove, Kabupaten Batu Bara, Provinsi Sumatera Utara, yang telah hampir 20 tahun berkecimpung di upaya pelestarian kawasan pesisir dengan menanam Mangrove, bersama kelompoknya.
Azizi, SH selaku Ketua Kelompok Tani Cinta Mangrove, Kabupaten Batu Bara, Provinsi Sumatera Utara, yang telah hampir 20 tahun berkecimpung di upaya pelestarian kawasan pesisir dengan menanam Mangrove, bersama kelompoknya. (Had)
MALANG NEWS – Azizi, SH., demikian nama bapak empat anak, sang Ketua Kelompok Tani Cinta Mangrove, Kabupaten Batu Bara, Provinsi Sumatera Utara, yang telah hampir 20 tahun berkecimpung di upaya pelestarian kawasan pesisir dengan menanam Mangrove, bersama kelompoknya.


Sejak tahun 2002, Azizi telah memulai kegiatan merehabilitasi dan menanam beraneka jenis Mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Batu Bara, Provinsi Sumatera Utara.

Aksi menanam Mangrove saat itu, sangat tidak populer dan dianggap aneh oleh sebagian besar masyarakat. Namun anggapan-anggapan miring itu diabaikan oleh Azizi dan kawan-kawan, mereka tetap melakukan aktivitas pembibitan dan penanaman Mangrove.

“Ini semua dilakukan mereka karena keprihatinan terhadap kondisi kawasan pesisir, di mana banyak terjadi abrasi pantai, masyarakat mengalami kesulitan dalam mencari ikan maupun kepiting akibat Mangrove yang minim dan rusak, serta adanya kerusakan terumbu karang akibat penggunaan alat tangkap perikanan yang tidak ramah lingkungan,” kata Azizi, pada Minggu (18/4/2021).

Dukungan Pergerakan

Dalam pergerakannya, Kelompok Tani Cinta Mangrove telah mendapatkan banyak dukungan, antara lain dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan melalui program GERHAN (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan) Kabupaten Asahan (saat itu Kabupaten Batu Bara masih berada di wilayah Kabupaten Asahan) pada tahun 2006, dari BPHM (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove) wilayah Sumatera pada tahun 2010 dan 2015, dan dari BPSKL (Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hidup) pada tahun 2018.

Kelompok Tani Cinta Mangrove juga mendapatkan support dari Polres Batu Bara, Pemerintah Kabupaten Batu Bara, serta beberapa dukungan program CSR (Corporate Social Responsibility) seperti dari PT PLN Batu Bara, dan PT Inalum (Indonesia Asahan Alumunium).

Dukungan berbagai pihak itu membuat mereka makin bersemangat. Saat ini di kawasan pesisir Desa Gambus Laut dan Desa Prupuk, Kecamatan Lima Puluh, Kabupaten Batu Bara, Kelompok Tani Cinta Mangrove telah melakukan penanaman Mangrove dengan luasan total sekitar 456 hektar, dengan turunnya Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm).

Berbagai jenis tanaman Mangrove ditanam di area tersebut, antara lain Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Avicennia Alba, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Bruguiera cylimdrica, Ceriops tagal, Nypa fruticans, Xylocarpus granatum, dan Xylocarpus molluccensis.

Tempat Mesum

Dulu di masa muda Azizi, Pantai Sejarah adalah pantai berpasir putih yang sangat indah, dan cukup ramai dikunjungi orang. Kemudian lambat laun terjadilah abrasi, pesisir Batu Bara mengalami erosi. Seiring dengan keindahan yang terkikis, maka pantai tersebut mulai ditinggalkan pengunjung.

“Jadi, untuk tetap bisa mendapatkan penghasilan, warga membangun pondok atau gubuk yang mereka sewakan untuk kegiatan mesum, menjadi kedai tuak, dan berbagai aktivitas lain yang terkait. Berubahlah wajah Pantai Sejarah. Pantai yang menjadi lokasi pendaratan pertama pasukan Jepang di Sumatera Utara pada tahun 1942 ini, kemudian menjadi sangat terkenal dengan konotasi negatif,” ungkap dia.

Beberapa tahun terakhir, lanjut dia,lebih dari 50 pondok atau gubuk liar disewakan warga kepada lelaki hidung belang, dengan harga berkisar Rp 20 ribu untuk short time. Warga menyewakan pondok-pondok, sedangkan untuk wanita-wanita penghiburnya datang dari luar daerah, yang dikoordinir oleh beberapa orang “induk semang”.

“Aktivitas ini berlangsung hingga belasan tahun. Adanya protes dari masyarakat yang tidak setuju, sampai demo dari kalangan FPI (Front Pembela Islam), tak pernah berhasil menghentikan geliat ekosistem bisnis esek-esek yang telah mengakar kuat di Pantai Sejarah,” pungkasnya. (Had)

Share: