Salah satu sorotan pedas adalah komentar dari Ade Armando, Pakar komunikasi yang memberikan tanggapan kritis.
Dengan memamerkan kemewahan yang dilakukan oleh Atta dan Aurel, Ade Armando menyebut hal itu sangat memalukan dan justru akan menakuti orang kalangan bawah.
Ia menilai, apa yang dipertontonkan pasangan muda ini jelas-jelas memalukan, bahkan orang kaya baru yang lazim mempertontonkan gaya hidup yang mewah, tanpa peduli pada kondisi mayoritas masyarakat.
Podcast Deddy Corbuzier
Seperti diketahui, baru-baru ini, Deddy Corbuzier mengunggah tayangan podcast barunya di kanal youtube miliknya yang menyatakan, ia mengaku setuju dengan kritikan pedas yang dilontarkan Ade Armando tentang artis pamer kekayaan.
Dalam analisisnya untuk mengungkap siapa yang salah, Deddy Corbuzier justru menyalahkan netizen. Faktanya, memang netizen Indonesia banyak yang lebih menyukai dan menonton konten-konten yang menayangkan kekayaannya.
Meski setuju dengan pendapat Ade Armando, Deddy mengungkapkan tidak menyalahkan sederet artis yang melakukan pamer kekayaan.
“Tapi salahkah mereka, salahkah Atta, salahkah Andre memamerkan seperti itu, gak salah,” tegas Deddy.
Selanjutnya, Deddy pun menjelaskan alasan tidak menyalahkan artis-artis tersebut dan beralih kepada kebiasaan netizen.
“Ternyata penontonnya di Indonesia, penduduk Indonesia kebanyakan suka banget hal-hal seperti itu, nonton kalo orang pamer kekayaan,” ujar Deddy
“Sinetron dengan pamer-pamer kekayaan, nonton, vlog-vlog youtube isinya pamer mobil pamer apa ditonton jutaan orang nonton,” lanjutnya.
Deddy juga menegaskan, bahwa netizen Indonesia lebih suka konten pamer kekayaan daripada konten yang mengedukasi masyarakat.
Pakar Komunikasi UB beri tanggapan
Menanggapi hal itu Pakar dan Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UB (Universitas Brawijaya) Malang, Maulina Pia Wulandari, Ph.D, memberikan komentar.
Perempuan alumnus SMP 3 dan SMU 3 Kota Malang ini mengatakan, untuk menganalisis sebuah masalah komunikasi publik itu jangan dianalisis sebagian. Harus dari berbagai sudut pandang serta melihat SEJARAH.
Perempuan yang juga sebagai Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP UB memaparkan di akun sosial medianya, meralat Deddy Corbuzier bahwa Ade Armando itu adalah pakar atau Doktor Komunikasi UI, bukan seorang Sosiolog yang telah dia kenal sebagai seniornya di UI sejak tahun 2001.
“Mari kita lihat sejarah mengapa orang Indonesia, bangsa Asia, sebagian besar Eropa, dan sebagian besar Amerika, masyarakatnya suka menonton pameran kekayaan. Masyarakat yang berangkat dari sebuah negara dengan sistem kerajaan akan cenderung bersifat feodal,” ungkap Pia sapaan akrabnya, Minggu (28/4/2021).
Kaum bangsawan dan kaum pengusaha, lanjut dia, sengaja memamerkan kekayaan kepada masyarakat biasa, untuk menunjukkan status sosial ekonomi mereka yang tujuannya untuk memberikan batas atau jarak sosial antara kaum bangsawan dan pengusaha dengan kaum commoners.
“Kekayaan, pangkat dan harta benda adalah simbol keberhasilan seseorang. Simbol status sosial ekonomi seseorang, simbol pemilikan kekuasaan dan pengaruh. Dan ini sudah ada sejak jaman dahulu kala,” tuturnya.
Ia mengatakan, Bangsa Indonesia itu sejarahnya muncul dari berbagai kerajaan dan kesultanan yang menyebar di Nusantara, sistem feodalisme semakin kencang dengan masa penjajahan Belanda yang sangat lama. Sehingga melihat dan menilai seseorang dari harta, kekayaan, dan status sosial ekonomi sudah menjadi bagian dari budaya turun menurun.
Seseorang akan diakui berhasil dalam sebuah kehidupan dilihat dari materi yang dimiliki, seseorang bisa diterima dalam sebuah kelompok bahkan menjadi bagian dari keluarga lain yang pertama kali dilihat adalah materi yang dimiliki, status sosial ekonomi, dan latar belakang keluarga.
Belum lagi budaya kasta di dalam masyarakat yang membagi kelas masyarakat berdasarkan status ekonomi dan perannya dalam masyarakat.
“Jadi budaya feodal yang memandang seseorang dari harta benda, kekayaan, dan status sosial di masyarakat Indonesia ini harus diubah,” urainya.
Kebetulan Pia pernah tinggal di Australia selama 8 tahun dan masih sering bolak balik ke negeri Kangguru. Di negeri ini, budaya feodal hanya dimiliki oleh orang-orang yang mengaku masih keturunan asli bangsa Inggris yang orang tuanya masih tinggal di Inggris.
Namun secara general, masyarakat Australia memandang seseorang itu bukan dari materi yang dimiliki namun dari kepribadian atau personality dan rasa kemanusiaan. Berbagai warga Australia dari etnik-etnik yang punya budaya feodal berusaha mempertahankan budaya itu, namun masyarakat Australia yang cenderung sosialis akan menolaknya.
Menurut perempuan alumnus FISIP Universitas Airlangga ini, jika sekarang pokok persoalan yang dibahas oleh bang Ade adalah para selebritis sebagai komunikator di ranah publik.
“Sebagai komunikator, wajib untuk merancang pesan yang ingin disampaikan kepada komunikan (netizen) sesuai dengan tujuannya,” kata dia.
Netizen dalam artian audience dalam konteks komunikasi publik itu bersifat pasif, saat menerima pesan dari sang selebritis. Akan menjadi komunikan aktif manakala disediakan ruang untuk menyampaikan feedback oleh si komunikator.
“Selebritis juga harus mempelajari dan mengetahui dampak pada setiap pesan yang disampaikan. Pesan sekecil apapun pasti ada dampaknya. Jadi, saat kita berkomunikasi terutama dalam ranah publik, kita apalagi komunikator yang berpengaruh harus mempelajari faktor internal dan external komunikan agar komunikasi menjadi efektif,” tukasnya.
Di akun sosial medianya, Pia juga menyampaikan pesan terbuka kepada Deddy Corbuzier terkait kompleksnya proses komunikasi terutama di ruang publik.
“Komunikasi itu proses yang kompleks, mas Deddy. Bukan sekedar posting, lalu selesai. Komunikator publik harus punya tanggung jawab sosial. Kalau mau menghapus budaya feodal yang membuat netizen suka nonton orang pamer kekayaan, upaya mas Deddy menampilkan narasumber bukan dari selebritis sangat saya apresiasi. Kita juga bisa mendidik diri kita dan keluarga kita sendiri untuk memandang orang lain dari personality dan rasa kemanusiaan,” paparnya.
Pia mengaku pernah seperti netizen Indonesia yang feodal, yang memandang orang dari harta dan status sosial ekonomi.
“Tapi saat saya studi S3 di Australia, saya merubah total budaya buruk ini dari diri saya, suami dan anak-anak saya. Teman-teman dekat saya di Australia menerima saya dan keluarga karena personality dan humanity, bukan karena status sosial saya. Yang memandang saya karena status sosial saya ya beberapa teman Australia dari Indonesia, etnis Asia dan sebagian Eropa,” paparnya.
Jangan salah, bahkan di negara demokratis seperti Amerika, masih kata Pia, masyarakatnya juga masih memandang seseorang dari materi, kekayaan, dan status sosial mereka. Kelompok kapitalis, politikus, birokrat, dan teknokrat Amerika gak jauh beda kok sama masyarakat kita.
“Makanya pop culture pada bidang infotainment, variety show pamer kekayaan para selebritis US seperti Kadarshian family juga menjadi favorit. Tapi para milyuner yang aslinya benar-benar tajir gak akan terlalu pamer dengan kekayaannya, mereka cenderung hidup sederhana,” jelasnya.
Perubahan budaya, diuraikan Pia, membutuhkan effort yang besar. Menyalahkan dunia pendidikan dan netizen saja rasanya juga kurang pas. Yang perlu adalah KESADARAN BERSAMA para selebriti dan influencer untuk bikin content yang tidak berfokus pada pamer kekayaan.
“Karena masih banyak topik-topik lain yang bisa dibuat dengan lebih kreatif dan menghibur. Tidak ada kebebasan absolut dalam komunikasi, yang ada adalah kebebasan yang bertanggung jawab pada etika moral dan sosial. Manusia tidak bisa berbuat seenaknya meskipun dengan harta yang dia dapatkan sendiri dari hasil kerja keras,” pungkas dia.
Apalagi, diungkapkan Pia, jika dia adalah seorang yang memiliki pengaruh yang besar di masyarakat. Tutur kata dan perilaku akan menjadi acuan bagi komunikan dan para pengikutnya.
“Bijak bermedia sosial, bijak menjadi komunikator, bijak menjadi influencer di sosial media platfom akan membuat netizen menjadi ikut bijak,” tandasnya. (Had)
MALANG NEWS – Perhelatan pernikahan Aurel – Atta Halilintar menuai beragam tanggapan dari berbagai pihak.