Ikuti Kami di Google News

Umar Sholahudin Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, yang juga kandidat Doktor FISIP Unair
Umar Sholahudin Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, yang juga kandidat Doktor FISIP Unair. (Had)
MALANG NEWS – Tragedi bom bunuh diri di Gereja Katedral menggemparkan Makassar beberapa hari lalu, hingga memicu munculnya kutukan dan kecaman keras berbagai pihak.


Terkait hal ini, Umar Sholahudin Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, yang juga kandidat Doktor FISIP Unair mengatakan, menangkap, menghukum, pelaku terorisme jauh lebih mudah daripada membunuh ideologinya.

“Menangkap, menghukum, sampai pada membunuh para pelaku jaringan terorisme jauh lebih mudah daripada membunuh ideologinya. Para pelaku teror dan aksi bom bunuh diri bisa saja dipenjara sampai puluhan tahun dan dihukum mati, namun ideologinya masih tetap ada dan terus berkembang,” tegas Umar Sholahudin, Selasa (30/3/2021).

Alumnus Program Studi Sosiologi FISIP Airlangga ini mengatakan, bak pepatah “hilang satu tumbuh seribu.” Itulah ideologi terorisme, yakni ideologi kekerasan dan ideologi yang mengumbar dan menyebar ketakutan kepada masyarakat.

Ia menjelaskan, Ideologi kekerasan ini semakin mendapatkan tempat dan menjadi keyakinan diri dan kolektif, apalagi jika dilegitimasi oleh (klaim monopolitik) agama.

Terorisme dan Ketakutan Massa

Gambaran ideologi terorisme tidak hanya terjadi dalam skala global dan regional, tapi juga lokal (baca: Negara). Itu pula yang terjadi di Indonesia. Sudah puluhan aksi terorisme terjadi di berbagai wilayah Nusantara dan telah menelan ratusan korban tewas, ratusan luka-luka berat dan ringan, dan merusak infrastruktur publik.

Tindakan represif pun sudah dilakukan pihak aparat keamanan dengan Tim Densus 88 Antiteror Mabes Polri dengan memburu, menangkap, menghukum, dan memenjarakan dengan vonis hukuman yang sangat berat sampai hukuman mati. Namun, semua itu belum mampu menghentikan atau setidaknya mengurangi aksi terorisme di negeri ini.

Tindakan represif dan eksesif aparat keamanan justru mendapat reaksi lebih keras dari para pelaku terorisme. Para pelaku terorisme bagaikan sebuah organisme yang terus produksi dan bereproduksi. Kasus yang terbaru adalah kasus bom bunuh diri di depan pintu gerbang Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan (28/3/2021) yang menewaskan pelakunya (diduga 2 orang), dan mengakibatkan korban luka (berat dan ringan) sebanyak 20 orang.

Kasus Makassar ini semakin menambah daftar panjang kasus bom bunuh diri dan aksi terorisme di Indonesia. Dalam beberapa kasus sebelumnya, para pelaku terorisme atau bom bunuh diri menyasar aparat kepolisian atau kantor-kantor polisi, termasuk kasus di Medan.

“Atas kejadian keji ini, tentu saja kita mengutuk keras atas tindakan terorisme ini. Atas dasar dan alasan apapun, tindakan tersebut tidak dibenarkan. Atas kejadian ini, ruang hidup kita dihantui rasa tidak aman dan nyaman. Kehidupan manusia selalu di bawah bayang-bayang aksi kekerasan,” imbuh Umar.

Homo Homini Lupus dan Doktrin Sesat

Umar mengungkapkan, kehidupan masyarakat kita ini bagaikan apa yang diungkapkan oleh Thomas Hobbes sebagai homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya. Nurani kemanusiaan luntur dimakan ambisi kehewanan. Begitu mudah seorang manusia melakukan tindak kekerasan dan bahkan membunuh sesamanya. Bahkan perilaku manusia semacam ini lebih buruk daripada hewan.

David Brooks menulis mengenai The Culture of Martyrdom (Majalah Atlantic edisi Juni 2002) dan mencoba mengaitkan dengan sejarah pengebom bunuh diri di kalangan pejuang radikal yang menentang musuh-musuhnya. Brooks mengutip laporan wartawan Pakistan Nasra Hassan yang mewawancarai 250 orang yang merekrut dan melatih para calon pelaku bom bunuh diri selama kurun waktu 1996 sampai 1999.

Kesimpulannya, pengebom bunuh diri umumnya sangat loyal kepada kelompoknya. Mereka melalui proses indoktrinasi dan cuci otak persis seperti yang dilakukan oleh Jim Jones pemimpin Sekte Matahari kepada para jemaahnya menjelang bunuh diri masal tahun 1977.

Calon pengebom dikelompokkan ke dalam sel-sel kecil dan diberikan ceramah agama serta melakukan ritual ibadah yang intensif. Mereka diajak untuk melakukan jihad (meski pemahaman akan jihadnya menyesatkan), dibakar kebenciannya terhadap musuh (biasanya simbol-simbol Barat dan pendukung Israel), dan diyakinkan akan masuk surga sebagai balasan tindakannya.

“Pengebom bunuh diri dicekoki bahwa surga terbentang di balik detonator pemantik bom dan ajal kematian akan dirasakan tidak lebih dari sekadar cubitan (yang sama sekali tidak menyakitkan),” tulis Brooks. Bahkan perekrut kadang meminta calon pengebom bunuh diri untuk telentang di lubang kubur kosong, sehingga mereka bisa merasakan bagaimana tenteramnya kematian yang akan tiba.

Sebaliknya, kepada mereka diingatkan secara terus-menerus bahwa hidup di dunia itu fana, sementara, banyak penderitaan, cobaan, dan penghianatan. Yang abadi adalah di surga, di mana ada 72 bidadari yang menunggu dengan penuh cinta.

“Mungkin karena akan bertemu dan menikah dengan bidadari di surga itu, maka si calon pengebom bunuh diri disebut sebagai pengantin. Lalu saat bom meledak dan nyawa si pelaku melayang disebut sebagai perkawinan, yakni pertemuan antara jiwa si pelaku dengan sang bidadari,” jelas Umar.

Deradikalisasi, kontribusi kemiskinan-ketidakadilan Sosek

Membunuh ideologi terorisme bukanlah pekerjaan mudah dan singkat. Tetapi bukan berarti tidak bisa dimusnahkan. Mengubah kepercayaan dan keyakinan tentang “ideologi kekerasan” membutuhkan langkah-langkah yang mendasar, strategis, sistematis, dan berkelanjutan. Dan karenanya membutuhkan waktu yang tidak singkat. Bisa saja membutuhkan satu generasi untuk membunuh ideologi terorisme.

Salah satu langkah solusi yang harus dikampanyekan adalah melakukan strategi kebudayaan dan deradikalisasi, yakni proses penghancuran nilai, ideologi, dan pemikiran terkait dengan kekerasan dan menggantinya dengan nilai, ideologi, dan pemikiran tentang kedamaian, keharmonisan, dan saling menghargai dalam perbedaan.

Akar kekerasan dan terorisme harus dibongkar. Akar kekerasan tidak hanya bersumber dari “klaim”agama, tapi kemiskinan dan ketidakadilan sosial-ekonomi juga memberi kontribusi cukup besar terhadap lahirnya aksi kekerasan dan terorisme.

Karena itu, penanganannya harus komprehensif, berkelanjutan, dan berdimensi jangka panjang. Tindakan represif yang dilakukan aparat keamanan selama ini hanyalah tindakan instan yang berjangka pendek, tidak bisa menghilangkan akar kekerasan itu sendiri. Langkah preventif jauh lebih penting untuk menghambat dan menghentikan aksi terorisme.

“Proses deradikalisasi yang paling efektif adalah melalui institusi pendidikan, baik formal maupun informal. Selain itu, ruang dialog antar pemeluk agama atau seagama dan elemen masyarakat lainnya harus dibuka lebar-lebar. Aksi kekerasan dan terorisme atas dasar dan nama apapun dan dilakukan oleh siapapun adalah tindakan yang “haram”, melawan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban manusia,” pungkas Umar Sholahudin. (Had)

Share: