Ikuti Kami di Google News

Drs. Penyabar Nakhe, anggota Komisi E DPRD Provinsi Sumatera Utara, melakukan kegiatan Reses kedua di Desa Onohondrö, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan
Drs. Penyabar Nakhe, anggota Komisi E DPRD Provinsi Sumatera Utara, saat sesi foto bersama di sela-sela melakukan kegiatan Reses kedua di Desa Onohondrö, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan. (Had).
MALANG NEWS – Drs. Penyabar Nakhe, anggota Komisi E DPRD Provinsi Sumatera Utara, melakukan kegiatan Reses kedua di Desa Onohondrö, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Rabu(3/3/2021), dengan mengusung tema program desa wisata.


Dalam kegiatan ini, Drs. Penyabar Nakhe hadir bersama Perkumpulan HIDORA (Hiduplah Indonesia Raya), konsultan sekaligus praktisi pariwisata dari Banyuwangi, Jawa Timur, untuk berbagi pengetahuan, wawasan, dan pengalaman dalam program-program pengembangan wisata desa yang pernah dilakukan HIDORA di desa-desa di Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Lombok Nusa Tenggara Barat, melalui program pemberdayaan masyarakat.

Merasa senang

Temaziso Hondrö, Kepala Desa Onohondrö menyatakan senang sekali mendapatkan kunjungan dari anggota Komisi E DPRD Provinsi Sumatera Utara, Penyabar Nakhe, karena jarang ada pejabat yang mau mengunjungi Desa Onohondrö.

Warga merasa kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, terlihat dari beberapa hal, antara lain: 1. Listrik baru masuk ke Desa Onohondrö pada tahun 2018.. 2. Aksesibilitas jalan ke Desa baru dibuat pada tahun 2020.
3. Rumah adat yang berusia lebih dari 400 tahun yang ada di desa ini belum pernah mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk dukungan dalam hal perawatan.

Selain itu, ia mengatakan, Air Terjun Zumali yang ada di desa ini, airnya ditampung di semacam telaga, sehari-harinya warga desa mengambil air di sana untuk air minum.

“Hal ini memerlukan dukungan dari Pemerintah Kabupaten/Provinsi agar nantinya ada program untuk bisa mendistribusikan air ke desa,” tuturnya.

Lestarikan budaya dan alam

Yohanes Hondrö, Si Ulu Si Ila/tokoh adat mengungkapkan, ia sangat senang ada pihak luar desa yang mau peduli dengan Desa Onohondrö, terutama karena program ini akan melestarikan budaya dan alam desa.

Beberapa informasi terkait kekayaan budaya di desa ini antara lain:
1. Nama Desa Onohondrö berasal dari nama bangsawan Nias yang pertama kali membangun rumah adat besar di sana, sehingga kemudian dijadikan marga Hondrö. 2. Desa ini tidak besar, namun memiliki kekayaan berupa 24 rumah adat, termasuk sebuah rumah raja terbesar kedua (Omo Sebua) di Nias Selatan, yang diperkirakan berusia sekitar 400 tahun, yang sebenarnya indah tapi mengalami kerapuhan di sana-sini karena dimakan usia.

Di dalam rumah raja tersebut masih bisa dijumpai tempat untuk penghakiman bagi warga yang memiliki kesalahan. Yohanes Hondrö sebagai keturunan langsung Marga Hondrö sangat prihatin dengan kurang pedulinya pemerintah terhadap perawatan rumah adat terbesar kedua di Nias Selatan.

“Kondisi rumah adat saat ini sudah mau roboh karena kayu-kayunya yang mulai lapuk, masyarakat desa kini hampir tidak sanggup lagi untuk merawatnya, karena biaya perawatan yang mahal, dan dana desa pun tidak cukup bila dialokasikan untuk perawatan rumah adat. Dengan adanya program wisata desa ini, diharapkan ekonomi masyarakat desa bisa meningkat,” tukasnya.

Potensi Besar

Sementara itu, Drs. Penyabar Nakhe, anggota Komisi E DPRD Provinsi Sumatera Utara, Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Sumut, Ketua DPP HIMNI (Himpunan Masyarakat Nias Indonesia) Bidang Seni Budaya Pariwisata mengungkapkan, Desa Onohondrö dipilih sebagai lokasi pelaksanaan kegiatan Reses, karena desa tersebut memiliki potensi kekayaan budaya dengan rumah-rumah adatnya, dan potensi wisata alam berupa air terjun yang perlu dijaga serta dikonservasi.

Ia mengusulkan penganggaran dari Pemerintah Provinsi mengenai perawatan rumah adat yang ada di Desa Onohondrö, sehingga peninggalan sejarah dan budaya di Desa Onohondrö tidak hilang. Dengan potensi budaya yang masih kuat dan kondisi alam yang masih terjaga, Drs. Penyabar Nakhe beritikad untuk mengawal program pengembangan wisata desa ini. Ia juga menampung aspirasi warga, seperti pembangunan gereja, perbaikan sarana pendidikan di desa dan tidak adanya jaringan komunikasi yang sangat diperlukan oleh warga, terutama untuk anak sekolah yang menerapkan sistem daring.

“Saya akan membawa kondisi permasalahan Desa Onohondrö ke Sidang Paripurna DPRD sehingga diharapkan ada penganggaran dana khusus dari Pemerintah Provinsi untuk Desa Onohondrö,” tandasnya.

Tetap terjaga

Pada kesempatan yang sama, Tri Andri Marjanto, Ketua Perkumpulan HIDORA, konsultan perencanaan pengembangan pariwisata dan pemberdayaan masyarakat, dari Banyuwangi, Jawa Timur sangat antusias dengan potensi budaya yang masih terjaga, dan alam yang indah yang dimiliki Desa Onohondrö.

HIDORA adalah lembaga yang bergerak dalam bidang pemberdayaan dan pendampingan masyarakat dalam mengembangkan wisata desa, dengan tujuan utama untuk melestarikan budaya dan mengkonservasi alam serta lingkungan hidup.

Kepariwisataan akan cepat berkembang apabila dikuatkan dengan adanya isu budaya dan isu lingkungan hidup. Kedua isu ini sangat menarik bagi segmen pariwisata internasional, dan tentunya berpotensi untuk mendapat dukungan dari pemerintah.

Berdasarkan pengalaman HIDORA dalam mengembangkan berbagai desa wisata di Indonesia, program wisata desa terbukti cukup berhasil untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, karena masyarakat menjadi subjek yang terlibat langsung dalam setiap kegiatan desa wisata, termasuk di berbagai bisnis turunan desa wisata seperti UMKM, yang membuat produk-produk lokal yang akan menjadi ciri khas desa, serta dalam pengembangan jasa wisata.

“Untuk bisa menjadi desa wisata, sangat diperlukan kekompakan antara masyarakat, Pemdes, BPD, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Setelah kekompakan terjalin di desa, maka harus dibangun koneksi, kolaborasi, sinergi dan integrasi antara desa, Pemkot/Pembkab, Pemprov, Pemerintah Pusat, dan berbagai stakeholder terkait, untuk memajukan dan memasarkan desa wisata. Pembentukan desa wisata bisa dilakukan dalam waktu cepat, tetapi tetap membutuhkan waktu 2-3 tahun untuk bisa dirasakan hasilnya berupa peningkatan ekonomi masyarakat desa,” tegasnya. (Had).

Share: