Ikuti Kami di Google News

Akademisi Universitas Brawijaya (UB), Rachmat Kriyantono S.Sos., M.Si., PhD.,
Akademisi Universitas Brawijaya (UB), Rachmat Kriyantono S.Sos., M.Si., PhD. (Had).
MALANG NEWS – Perayaan Imlek menjadi momen spesial setiap tahunnya, namun kali ini diperingati tidak seperti biasanya akibat adanya pandemi.


Lita Aruf adalah konsep dasar komunikasi multikultural yang ditawarkan Islam (agama mayoritas rakyat Indonesia), baik terhadap sesama Islam dengan tradisi beragama berbeda-beda, maupun dengan pemeluk agama lain.

“Konsep ini (konsep dasar komunikasi multikultural Islam) yang menjadi dasar Presiden Gus Dur membolehkan perayaan Imlek sebagai hari libur, yakni lita’aruf terhadap hak asasi manusia untuk berbeda dalam keyakinan agama dan budaya,” tandas Akademisi Universitas Brawijaya (UB), Rachmat Kriyantono S.Sos., M.Si., PhD., Senin (15/2/2021).

Ia berharap, semua pihak tetap bersemangat dan optimis merayakan Imlek. “Alhamdulillah Bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama Islam cukup toleran dan mampu menerima keberagaman untuk saling kenal-mengenal sebagaimana konsep Lita Aruf dalam ajaran Islam,” tegas pria yang juga Pakar Komunikasi tersebut.

Ia menambahkan, Islam mempunyai misi Rahmatan Lil ‘alamin, dan mempunyai penghargaan yang tinggi terhadap tradisi masyarakat, selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.

“Karena Islam sebagai agama universal yang dakwahnya menyentuh masyarakat dunia tanpa kecuali, sehingga akulturasi secara bertahap merupakan kelogisan. Seperti sudah dibuktikan para Walisongo,” tutur pria yang juga Alumnus FISIP Universitas Airlangga ini.

Islam agama dinamis saling menghormati keragaman agama, dalam perspektif Islam, lanjut Rachmat, merupakan konsekuensi Islam sebagai agama penutup wahyu Allah. Islam pun membingkai kehidupan manusia sampai hari kiamat, yang beragam peradabannya, termasuk segala bentuk tradisi yang berkembang sepanjang waktu dan wilayah, termasuk tradisi beribadah, baik sesama Islam maupun umat yang lain.

Oleh karena itu Islam menghadapi masalah-masalah kehidupan manusia yang dinamis tersebut, dengan hanya memberikan ketentuan yang mendasar saja .

Contohnya, perintah shodaqoh, Islam tidak terlalu rinci mengajarkan jenis atau cara shodaqoh. “Masyarakat kita bisa memberikan shodaqoh makanan dan shodaqoh doa yang dikemas sebagai tahlilan. Ada yang shodaqoh darah yang dikemas dalam donor darah untuk diserahkan kepada sesamanya yang butuh darah demi kesehatan,” terang Rachmat yang memperoleh PhD dari School of Communication ECU Australia itu.

Perbedaan Adalah Sunatullah

Berbeda-beda budaya adalah sunatullah karena sifat manusia memang diciptakan berbeda bangsa, sehingga umat diminta untuk Lita’ Arofu bukan diminta saling menyalahkan satu dengan yang lainnya (QS 49:13).

“Lita Arofu bermakna manusia adalah makhluk sosial, yang baru bisa hidup sebagai manusia jika berinteraksi sosial dengan manusia lainnya. Lita Arofu adalah perekat interaksi sosial,” papar Rachmat.

Setiap interaksi akan menghasilkan budaya (kebiasaan berperilaku). Interaksi sosial ini terjadi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, kesehatan, agama, dan lainnya.

“Maka dalam beribadah dalam berbagai agama budaya juga hadir. Karena beribadah juga bagian dari interaksi sosial (hablum minannas). Nabi SAW bersabda: “addin al mu’amalah” (oleh Prof. Qurays Shihab diartikan “agama adalah interaksi”),” imbuh Rachmat.

Ia menjelaskan, tanpa budaya adalah kemustahilan karena kita adalah manusia.

“Tanpa budaya adalah kemustahilan, karena kita manusia. Budayalah yang mengasah sifat kemanusiaan kita. Pada akhirnya, budaya adalah instrumen atau alat beragama, bukan agama itu sendiri. Bagaikan musik, instrumen ini harus dipilih yang selaras agar menghasilkan lagu yang harmoni. Dalam konteks menjalankan ibadah Islam, budaya pun harus selaras dengan syariat tuntunan Islam agar tidak menyesatkan,” terang Rachmat mengakhiri. (Had).

Share: