Ikuti Kami di Google News

Caption : Konsumen beserta salah satu produk SABUSI. (ist)
Konsumen beserta salah satu produk SABUSI. (Had).
MALANG NEWS – Selama ini posisi petani di Indonesia sangat lemah dan terpuruk oleh banyak hal dan faktor. Karenanya kita merasa bersyukur, sebab saat ini spirit perjuangan sosial berbagi kepada sesama semakin meningkat seiring pandemi yang belum reda.


Untuk mengkatrol posisi tawar petani (bargaining position) secara sosial-ekonomi, dibutuhkan salah satunya lewat inovasi pengolahan produk agar mempunyai nilai tambah.

“Saya membantu petani dalam memberikan nilai tambah untuk berbagai produk yang mereka hasilkan, agar bisa menjadi tambahan penghasilan. Kami menampung produk untuk diolah agar memberi nilai lebih menjadi Sari Buah Fermentasi (SABUSI),” tegas Founder Dial Foundation Pietra Widiadi, Sabtu (16/1/2021).

Pietra berupaya memberikan nilai lebih produk pertanian dalam ekonomi kreatif. Ia menceritakan, petani di Jawa umumnya memiliki luas lahan kurang dari 1 hektar, bahkan menurut Sayogo luas lahan tidak lebih dari 0.5 hektar. Hal yang senada juga terjadi khususnya di pedesaan di Kawasan Gunung Kawi, atau di sekitar Malang Raya.

Komoditi Mudah Laku

Pietra menjelaskan, umumnya dari hasil lahan kecil itu, karena tidak menguntungkan kemudian hanya ditanami komoditi masal yang dianggap gampang mendapatkan pendapatan.

Komuditi yang ditanam umumya seperti Tebu dan atau tanaman semusim seperti Jagung, Kacang, sayuran dan Umbi-umbian. Atau disewakan untuk ditanami Sengon, Jabon atau Waru dalam 1 masa produksi selama 5 tahun.

“Dengan cara seperti itu, untuk mendapatkan pendapatan atau cash money yang fresh, nampaknya hanya dilakukan seperti itu,” tutur pria alumnus Universitas Airlangga ini.

Butuh Inovasi

Kurang adanya inovasi dan kreatifitas yang dikembangkan. Seolah dengan komoditi itu sudah cukup. Meski ada yang coba-coba dengan tanaman buah yang umumnya dengan usia relatif lama dan menghasilkan komoditas dengan harga yang agak lebih baik dari pada tanaman semusim yang kadang harga sangat rendah.

Selain menanam komoditi seperti diatas, tidak jarang petani menanam komoditi lainnya untuk variasi meskipun harga cukup fluktuatif dan kurang ada perlindungan dari Pemerintah.

Keluhan semacam ini, sering muncul dan nyaris tidak ada upaya yang cukup berhasil untuk mengatasi. “Kambing hitam yang tidak ada habisnya adalah tengkulak dan pengijon. Jadi kegagalan sektor pertanian dan perkebunan tidak pernah dilepas dari kambing hitam itu,” jelas Pietra.

Hal yang sama seperti buang-buahan yang sebenarnya bukan komoditas masal artinya dikenal umum, namun juga mengalami permasalahan yang sama, seperti Apel, Strawberry bahkan empon-empon seperti Temulawak yang dikenal dengan nama “Java Ginger”, atau seperti Kunyit dan empon-empon yang lain.

Hal yang sama juga seperti tanaman pagar, yang menghasilkan buah Murbei atau Mulberry. Komoditi pertanian dan perkebunan ini memiliki potensi merugi dan cukup besar, sehingga petani umumnya hanya pasrah sehingga akhirnya dengan terpaksa menerima dengan dihisap pengijon dan tengkulak.

“Meski sebutan itu (pengijon dan tengkulak), disandang oleh tetangga, bahkan saudara sendiri yang menjalankan peran itu,” terang Pietra.

Hulu -Hilir Kurang Berpihak

Ia mengatakan, sektor hilir dan hulu sama saja dalam menyelesaikan persoalan petani dengan komoditi seperti itu. Misalnya perbankan, bahkan bank milik pemerintah yang disebut juga dengan himbara itu, tak jarang enggan membukakan jalan yang cukup bagus untuk menyelesaikan persoalan yang ada.

“Misalnya saja, kredit murah yang disebut dengan KUR itu, acap hanya bisa dinikmati oleh usaha menengah, atau petani yang sudah mapan dalam kategori menengah, yang tak jarang mereka ini yang disebut kambing hitam itu,” papar Pietra.

Pietra menjelaskan, kredit usaha rakyat juga kurang berpihak kepada usaha mikro karena dinilai pembukuannya tidak becus.

“Yang kecil atau mikro cukup dikecengin saja oleh kredit usaha rakyat itu, karena yang kecil-mikro, meski dengan kapasitas keuangan yang kecil dan mapan tetapi pembukuannya tidak becus dan dianggap kurang nampak profitnya dilewatin saja,” imbuh Pietra.

Ironisnya, Pietra mengatakan, kalau mengajukan, uji tuntas (due diligent) dilakukan formalitas saja, untuk menunjukkan bahwa Bank sudah melakukan prosedur.

“Bahkan kalau mengajukan, uji tuntas (due diligent) dilakukan formalitas saja, untuk menunjukkan bahwa Bank sudah melakukan prosedur mereka. Ini umumnya terjadi di pedesaan, seperti di desa Sumbersuko atau Babatan misalnya. Meski hal ini bisa dimengerti dengan target portofilo pembiayaan dari pekerja Bank,” tegas Pietra.

Off Farm dan Serabutan

Pietra mengungkapkan, patut diingat bahwa petani kecil umumnya pekerjaannya tidak melulu pada produksi komoditi pertanian (atau disebut dengan on farm), tetapi bisa merambah pada sektor non pertanian (off farm).

Menurut Pietra, jadi sebenarnya cukup mapan, pekerjaan petani kecil bisa meliputi tukang bangunan, pedagang ternak dan penggemukan ternak, pembuatan makanan khas seperti kerupuk atau keripik, tidak jarang juga merangkap menjadi tukang bakso atau mlijo.

Atau oleh para akademisi disebut serabutan yang tidak mapan itu. Namun dengan usaha yang kecil mereka harus mengusahakan kehidupan mereka dengan lestari, maka semua jalan dilalui.

“Dengan kondisi seperti itu, Dial Foundation dengan brand usahanya Pendopo Kembangkopi, mendukung upaya kerja Jiva Java Coffe, dengan menjangkau pasar lebih luas dari produk yang dihasilkan yaitu sari buah fermentasi disingkat dengan Sabusi,” tandas Pietra.

Kreatiftas Pengelolaan

Ia menjelaskan, bahan baku dari Sabusi ini adalah hasil dari menampung komoditi pertanian yang dipasaran harganya jatuh atau harga yang rendah. Dengan pembelian dengan margin tidak merugikan petani, maka petani produk komoditi yang umumnya dari lahan yang sempit masih bisa eksis dan mendapatkan penghasilan yang diharapkan.

Cara ini memberikan nilai tambah (added value) yang dilakukan adalah dengan mengubah buah-buahan yang harganya jatuh diubah menjadi sari buah fermentasi atau yang dikenalkan dengan sama Sabusi.

Misalnya Tomat pada bulan September-Oktober 2020 yang lalu, hanya laku Rp 500/kg tetap bisa dibeli dengan harga Rp 2.500-5.000/kg. Dengan diubah menjadi Sabusi, maka produser Sabusi tidak mengalami kerugian pula karana harga Sabusi bisa juah diatas harga komoditi asalnya.

Maka dengan usaha kreatif, komoditi pertanian/perkebunan berupa komoditi buah seperti Apel, Nanas, Murbei atau Mulberry yang bahkan tidak punya harga di pasaran, Strawberry, Durian, Labu (dalam Bahasa Jawa disebut dengan Waluh), bahkan Temulawak (atau Java Ginger) dan Kopi dapat diubah menjadi Sabusi.

Harga yang ditetapkan bisa 10 bahkan 20 kali dari harga buah asalnya. Dengan demikian maka dalam mengembangkan usaha hilir pertanian bisa dilakukan oleh petani dalam jaringan produksi olah komoditi pertanian secara gotong royong.

Dikembangkan transparansi dan partisipasi dalam menetapkan harga dan dalam posisi yang adil (fair) sehingga sama-sama diuntungkan.

“Dengan demikian nilai tambah dapat dicapai, relasi sosial terbangun dengan semangat kebersamaan dalam prinsip gotong royong, dapat dikembangkan, artinya keuntungan dan kelestarian alam bisa terjaga karena dengan keuntungan maka petani akan bersedia melakukan usaha petanian yang lestari, dengan apa yang disebut dengan Good Agriculture Practices,” pungkas Pietra. (Had).

Share: