Oleh: Yunanto
Preambul
MALANG NEWS – Nyaris tiada hari tanpa publikasi perihal virus Corona (Covid-19). Diwartakan di semua jenis media massa. Masif di jagat media sosial. Digunjingkan pula secara tatap muka di berbagai tempat seantero Ibu Pertiwi.
Itulah fakta yang hadir sejak awal Maret 2020. Bertahan hingga menuju berakhirnya tahun ini. Andai Covid-19 dipersonifikasikan (dianggap seolah-olah manusia), “dia” sungguh elemen “who” yang sangat hebat. Mampu bertengger di puncak tangga publikasi Nusantara. Mengumandangkan nada duka berkepanjangan di berbagai sektor kehidupan. Entah sampai kapan.
Saya mencoba menyimak fakta. Baik fakta peristiwa maupun fakta pendapat dari sudut pandang publisistik praktika (jurnalistik). Memang, sungguh dahsyat bobot nilai bahan berita elemen “who” personifikasi (baca: Covid-19) tersebut. Mampu menenggelamkan elemen why dan how dari ranah publikasi berbagai media massa.
Misteri tentang why dan how atas “who” personifikasi pun tidak terjawab tuntas. “Who” personifikasi malah bersanding mesra dengan elemen what. Lahirlah publikasi yang mendominasikan nominal korban “who” personifikasi. Jumlah korban yang positif “who” personifikasi, jumlah korban sembuh, dan jumlah korban yang meninggal dunia. Sekali lagi, elemen why dan how yang selayaknya didominasikan dengan target pencerahan bagi khalayak komunikan media massa, seolah tenggelam.
Lantas, bagaimana publikasi yang ideal? Ideal dalam konotasi publikasi yang turut serta mencerdaskan khalayak komunikan media massa. Tanpa menggurui, tanpa mendikte dan tanpa menakut-nakuti, tentu.
Apa landasan sikap ideal wartawan dalam konotasi publikasi yang mencerdaskan khalayak komunikan media massa? Hakikat landasan dimaksud adalah dasar dan “kiblat” wartawan dalam kontek berkarya jurnalistik. Tentu saja landasan etikanya adalah Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan landasan normatifnya adalah hukum positif (undang-undang) yang berkorelasi dengan karya jurnalistik. Apa pun wujud karyanya di jagat publikasi.
Berikutnya, “modal” apa yang wajib dimiliki wartawan agar bisa menghadirkan publikasi yang ideal? Apa pula “modal” yang wajib dimiliki wartawan agar bisa eksis dalam bersikap dan bertindak sebagai wartawan yang ideal? Tanpa punya “modal” sebagai wartawan
berkualitas baik, memang sulit menghadirkan karya jurnalistik bermutu prima.
Berikut ini saya sajikan sejumlah hal ideal yang patut dilakukan oleh wartawan di tengah situasi dan kondisi pandemi Covid-19.
Di bagian pertama, saya sajikan ihwal idealnya publikasi terkait dengan faktual pandemi Covid-19. Di bagian kedua, saya sajikan landasan sikap wartawan dalam berkarya jurnalistik di tengah situasi dan kondisi pandemi Covid-19. Di bagian akhir, bagian ketiga, saya uraikan perihal “modal” yang wajib dimiliki wartawan agar bisa eksis dan konsisten menghadirkan karya-karya jurnalistik bermutu baik. Dalam kontek pandemi Covid-19, tentu berupa karya jurnalistik yang bermuatan pencerahan bagi khalayak komunikan media
Bagian Kesatu:
Idealnya Publikasi
Wartawan adalah “penjaga gawang” aspirasi publik. Sebagaimana layaknya kiper yang baik, tentu gawangnya tidak boleh kebobolan. Begitu pun wartawan yang baik, tidak boleh meleset menangkap “bola” aspirasi publik. Ia juga dituntut mampu mencarikan jawaban atas aspirasi publik yang berkembang.
Dalam hal publikasi ihwal Covid-19, ada “bola” aspirasi publik yang lolos dari tangkapan kiper (baca: wartawan). “Bola” aspirasi publik itu berupa rasa ingin tahu perihal elemen how dalam kontek berpola pikir, berpola sikap dan perpola tindak yang terbaik.
Di preambul saya tuliskan, ada yang idealnya didominasikan dalam publikasi ihwal Covid-19, namun malah tenggelam. Konkretnya dalam wujud uraian atas elemen how.
Elemen ini dari sisi jurnalistik harus mendominasikan perihal bagaimana wartawan idealnya bersikap dalam memproduksi karya jurnalistik yang bermanfaat bagi khalayak komunikan
medianya. Misteri why dan how atas “who” personifikasi tak kunjung berjawab. Khalayak komunikan media massa seperti dianggap tidak perlu tau elemen why dan how atas “who” personifikasi (Covid-19).
Sekadar pelipur lara, memang ada publikasi atas elemen why dan how. Sayang, bobot nilai informasinya jauh di bawah “Si Biang Kerok”, yaitu “who” personifikasi tersebut. Wujud konkretnya, sebut saja antara lain pakai masker, mencuci tangan dengan sabun di air yang mengalir dan jaga jarak.
Menyimak realitas tersebut saya beropini, kini saatnya wartawan memberikan penguatan pada elemen how atas “who” personifikasi (Covid-19). Konkretnya, konten publikasi media massa harus didominasi elemen how. “Ruh” publikasi adalah elemen how menumpas “who”
personifikasi.
Bagaimana dengan elemen-elemen yang lain? Sekali lagi, dari sudut pandang publisistik praktika memang tidak boleh dinihilkan. Elemen who yang sebenarnya (baca: sumber berita) harus tetap ada. Begitu pun elemen what, where dan when. Hakikatnya, agar publikasi karya jurnalistik tidak menjadi “peta buta” bagi khalayak komunikan media massa.
Tentu, harus ada “kiblat” (acuan) dalam mendominasikan konten elemen how di setiap item publikasi. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan publikasi. Informasi yang akurat dan sahih, menjadi harga mati. Khalayak komunikan media massa pun terlindungi dari kezaliman publikasi hoax. Secara legal formal, “kiblat” publikasi dalam kontek Covid-19 adalah Tim Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19. Mulai dari tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten dan kota.
Elemen how yang dilansir oleh tim gugus tugas tersebut harus menjadi konten dominan publikasi. Misal, tim gugus tugas tingkat pusat merumuskan ihwal strategi pelaksanaan menuju masyarakat produktif dan aman Covid-19. Ini inti elemen what. Ada sekian tahapan mekanisme yang harus dilalui. Maka konten tahapan itulah elemen how yang harus didominasikan dalam publikasi
Bagian Kedua:
Pola Sikap Wartawan
Kewartawanan adalah seni menghadirkan fakta dalam bentuk karya jurnalistik.
Sebagaimana galibnya seni, haruslah indah (bermuatan estetika) agar menarik minat khalayak komunikan media massanya. Maka diperlukan kemampuan “berolah gaya” jurnalistik dalam wujud teknik menyajikan bahan berita.
Di sisi lain, seni menghadirkan fakta dalam wujud karya jurnalistik itu pun harus tunduk pada kaidah etika, tatakrama, norma tertulis. Maka Kode Etik Jurnalistik (KEJ) mutlak harus dijadikan landasan moral dan etika profesi oleh setiap wartawan.
Berikutnya, landasan yuridis formalnya berwujud hukum positif, yaitu UU RI No. 40/ Tahun 1999 tentang Pers, serta produk hukum positif lain yang terkait dengan jagat kewartawan. Sebut antara lain UU RI No. 11/ Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU RI No. 19/ Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Secara spesifik untuk media siber. Sejumlah peraturan yang stratanya di bawah undang-undang, bila masih berlaku juga wajib dihormati implementasinya.
Sampai di “etape” ini, saya menjadi ingat pada satu kalimat mutiara yang dijadikan status WA oleh sahabat saya, seorang advokat di Kota Malang. Narasinya indah. Maknanya sangat bagus. Sarat muatan filodofis. Narasi dimaksud selengkapnya begini: Sebelum kamu berbicara, biarkanlah kata-katamu melewati tiga pintu. Di pintu pertama tanyakan pada dirimu sendiri, “Apakah itu benar?” Di pintu kedua tanyakan, “Apakah itu perlu?” Di pintu ketiga tanyakan, “Apakah itu baik?”
Pasti sama indah maknanya, jika kalimat mutiara tersebut saya proyeksikan ke jagat kewartawanan. Kurang lebih menjadi begini: Sebelum kamu mempublikasikan suatu bahan berita, biarkanlah bahan beritamu melewati tiga pintu. Di pintu pertama tanyakan pada dirimu sendiri, “Apakah bahan berita itu benar (akurat)?” Di pintu kedua tanyakan, “Apakah bahan berita itu memang perlu dipublikasikan?” Di pintu ketiga tanyakan, “Apakah publikasi atas bahan berita itu bermanfaat dan berdampak baik bagi khalayak komunikan media?”
“Filosofi tiga pintu” tersebut bila diimplementasikan oleh wartawan dalam setiap karya jurnalistiknya, sangat gayut dengan “ruh” Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Terutama dengan Pasal 1, Pasal 3, dan Pasal 8 KEJ yang – maaf – sering “ditabrak” oleh sebagian wartawan “kurang matang”. Pasal 1 KEJ misalnya, mengamanatkan: “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikat buruk”.
Bila dicermati, tafsir atas Pasal 1 KEJ gayut dengan “filosofi tiga pintu” tersebut. Coba simak tafsir indepen, berarti memberitakan fakta peristiwa dan/atau fakta pendapat sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Akurat berarti dipercaya benar sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak mendapatkan kesempatan
setara. Tidak beritikat buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 3 KEJ:
“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi ssrta menerapkan asas praduga tidak bersalah. Tafsir atas pasal tersebut, menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang maknanya memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Asas praduga tidak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi siapa pun.
Berikutnya, Pasal 8 KEJ:
“Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.” Tafsir atas pasal ini, prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. Sedangkan diskriminasi bermakna pembedaan perlakuan.
Menyimak serangkaian hal tersebut di atas, nampak jelas muara kebajikan wartawan adalah kedewasaan (baca: kematangan) dalam berkarya jurnalistik. Dalam kontek yang berkaitan dengan tema penulisan opini ini, tentu saja kedewasaan (kematangan) wartawan dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindak di masa pandemi Covid-19. Matang dalam pola pikir tatkala mendapatkan informasi/bahan berita apa pun yang terkait dengan Covid-19.
Matang dalam pola sikap sikap bermakna menyikapi informasi apa pun terkait dengan Covid-19 secara bijak, tidak mudah percaya sebelum melakukan check and recheck serta tidak temperamental.
Berikutnya, tentu berpola tindak profesional dalam mengumpulkan dan mengolah bahan-bahan berita terkait dengan Covid-19. Konsisten “berkiblat” pada KEJ sebagai landasan moral dan etika profesi.
Konsisten pula mengindahkan ketentuan yang diamanatkan dalam hukum positif (undang-undang) terkait dengan pers dan publikasi. Hanya dengan demikian produk karya jurnalistik itu bermanfaat bagi khalayak komunikan media massa. Patut diingat, tinggi-rendah bobot nilai berita (news value) ditentukan oleh seberapa banyak komunikan media massa yang merasa mendapat manfaat dari produk karya jurnalistik dimaksud.
Bagian Ketiga:
“Modal” Kompetensi Wartawan
Terminologi kompetensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diberi arti kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan; memutuskan. Dalam ranah makna kompetensi dimaksud, eksistensi wartawan tidak sekadar memiliki kompetensi mencari dan mengolah bahan berita menjadi naskah berita siap publis ( pressklaar). Ada sejumlah hal ideal yang sepatutnya dimiliki oleh sosok wartawan berkualifikasi memiliki kompetensi bagus di bidang publisistik praktika (jurnalistik).
Parameter kompetensi wartawan patut diukur dari seberapa matang daya mampunya memahami masalah yang dipublikasikannya serta akibat-akibat yang ditimbulkan oleh publikasinya dalam bentuk karya jurnalistik. Bahkan, wartawan berkompetensi prima idealnya juga harus mampu memberikan serangkaian petunjuk (baca: pencerahan) kepada khalayak komunikan medianya. Terlebih di era kekinian, masa pandemi Covid-19 yang
menimbulkan berbagai dampak negatif di nyaris semua sektor kehidupan.
Bertolak dari hal ideal dimaksud, sekurang-kurangnya ada lima “modal” untuk hadir menjadi wartawan berkualifikasi memiliki kompetensi bagus.
“Modal” pertama, pengetahuan.
Seorang wartawan harus berpengetahuan luas. Ia tidak boleh berhenti mendidik diri sendiri. Ia wajib banyak membaca apa saja yang berpotensi menambah luas pengetahuannya. Gemar membaca karya sastra misalnya, berpotensi mempengaruhi mutu dan keterampilan menulis naskah berita.
Di ranah makna terminologi berpengetahuan luas, sangat ideal wartawan memiliki pengetahuan yang luas di bidang hukum. Saya malah selalu menganjurkan wartawan melek hukum (baca: memahami hukum). Baik hukum privat (perdata) maupun hukum publik (pidana). Paling tidak, memahami secara baik “pondasi” hukum publik, yaitu UU RI No. 8/ Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), lazim disebut Hukum Acara Pidana.
Pada era kekinian, sangat rawan (berbahaya) jika wartawan tidak melek hukum. Berbahaya bagi dirinya sendiri, keluarganya, institusi medianya, dan bagi khalayak komunikan medianya. Tentu, melek hukum itu dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan berkategori melawan hukum (onrecht matig daad) di ranah publisistik praktika dalam wujud delik pers.
“Modal” kedua, persepsi.
Maknanya, dengan luasnya pengetahuan lahirlah daya persepsi, yaitu kemampuan membahas dan menganalisis serangkaian keadaan kemudian menarik kesimpulan.
“Modal” ketiga, observasi.
Hakikatnya, seorang wartawan mutlak perlu memiliki daya mampu observasi. Sanggup mengamati dan mendeteksi hal-hal yang tidak lazim, serta hal-hal yang menarik hati. Beda dengan persepsi, wujud konkret daya observasi terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik. Lahiriah dan kasat mata.
“Modal” keempat, mampu menulis opini.
Hakikatnya, karya tulis wartawan harus tepat sasaran dan berdaya mampu menarik minat (memikat) khalayak komunikan yang dituju. Wartawan pun dituntut mampu berbahasa Indonesia secara baik. Harus diingat, kata-kata merupakan “alat utama” wartawan. Seorang wartawan tidak bisa bekerja secara baik tanpa memiliki kekayaan perbendaharaan kata.
Terakhir, “modal” kelima, mampu memanusiakan manusia.
Seorang wartawan wajib memiliki dan menaruh perhatian terhadap manusia dalam arti kata seluas-luasnya. Tanpa memiliki perhatian tersebut, seorang wartawan akan lekas kekeringan ide. Daya berkreasi pun tumpul. Pelan tapi pasti, ia akan kehilangan komitmen pada kemanusiaan.
Andaikata lima “modal” tersebut dimiliki seorang wartawan, saya optimistis ia tetap bisa eksis secara baik dalam situasi dan kondisi serba sulit sekalipun. Tidak terkecuali dalam situasi dan kondisi pandemi Covid-19, saat ini. Bahkan wartawan dimaksud bisa semakin meneguhkan kompetensinya di tengah pandemi Covid-19.
Coba saja dibayangkan sekaligus diproyeksikan ke jagat kewartawanan. Seorang wartawan yang berpengetahuan luas dan melek hukum, nyaris dapat dipastikan tidak akan memproduksi karya jurnalistik yang menabrak etika (KEJ) dan norma hukum positif (UU).
Delik pers bisa dijauhi, bahkan dinihilkan terjadi. Tingginya daya mampu persepsi dan observasi juga berpotensi besar mendongkrak bobot nilai berita dalam karya jurnalistiknya.
Daya mampu wartawan menulis opini dan kelembutan hatinya memanusiakan manusia, berpotensi besar menghasilkan karya jurnalistik yang berbobot nilai berita prima. Tidak dihinggapi “penyakit” kekeringan ide. Jauh dari “wabah” menghalalkan yang haram dengan segala modus operandi. Pasti selamat dari perangkap “jebakan Batman 369” (baca: Pasal 369 KUHP tentang pemerasan), karena tidak pernah tergiur. Lewat lima “modal” tersebut saya optimistis wartawan bisa berdaya meneguhkan kompetensinya.
Penutup
Wartawan Indonesia adalah bagian (elemen) dari warga bangsa Indonesia. Situasi dan kondisi kekinian kehidupan berbangsa dan bernegara masih memprihatin terkait dengan realitas pandemi Covid-19 yang belum kunjung berakhir. Fakta kasat mata itu sepatutnya membangkitkan empati setiap wartawan Indonesia untuk berperanserta positif sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Senantiasa konsisten pada landasan moral dan etika profesi (baca: KEJ), merupakan manifestasi dari peneguhan kompetensi wartawan di masa pandemi Covid-19. Setia dan taat mematuhi norma hukum positif (UU), menyempurnakan peneguhan kompetensi wartawan. Memang, diperlukan “modal” seperti tersebut di atas untuk mampu menapaki dunia kompetensi wartawan secara baik dan benar. Kendati demikian “modal” dimaksud tidak sulit digapai. Kuncinya hanya satu kata: niat.
Malang, 29 November 2020.
Catatan Redaksi: Yunanto, alumnus Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta.