

Kisah Ramayana yang berisi tentang epos atau cerita kepahlawanan, berasal dari India, dan dikarang oleh Walmiki sekitar tahun 400 sebelum Masehi. Isi kitab terdiri atas tujuh jilid (kanda) dan digubah dalam bentuk syair sebanyak 24.000 seloka.
Kisah Ramayana muncul dalam banyak versi. Selain di Indonesia, kisah sejenis muncul di Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, Cina, Filipina, dan Thailand. Di Indonesia kitab Ramayana telah disadur ke dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) berbentuk kakawin, dan kemungkinan besar dilakukan pada zaman Kerajaan Mataram kuno abad ke-9.
Berbagai cerita Ramayana di Indonesia diketahui bersumber pada Ramayana Walmiki. Para pengarang Indonesia memang sengaja membuat perbedaan, agar cerita Ramayana cocok dengan alam pikiran dan tata nilai bangsa Indonesia.
Pada seminar antar bangsa yang diselenggarakan oleh LP2M Universitas Negeri Malang menampilkan empat orang pembicara, yaitu Dr. Sumaryono, M.A dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta (Ahli Kritik Seni dan Penari/Koreografer), Dr. Surasak Jamnongsarn Department of Traditional Thai and Asian Music Srinakharinwirot University Bangkok Thailand (Ahli Etnomusikologi), Rahmat Joko Prakoso, M.Sn dari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya (Ahli Tradisi Lisan Dan Seni Pertunjukan), dan Dr. Robby Hidajat, M.Sn dari Universitas Negeri Malang (Peneliti Seni Pertunjukan).
Menurut penuturan Dr. Sumaryono, M.A, bahwasanya tokoh dan kisah Ramayana telah menginspirasi para sastrawan, seniman seni pertunjukan, dan para seni rupawan menciptakan karya-karya seni yang diadaptasikan dengan cita rasa budaya lokal diwujudkan dalam bentuk lukisan, patung, dan relief gaya baru.
“Selain itu, berbagai episode kisah Ramayana juga telah diangkat ke dalam berbagai bentuk seni pertunjukan seperti sendratari, wayang wong, dan wayang kulit.
Di dalam seni pedalangan Jawa ada empat tokoh panakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) yang dimunculkan dalam versi India tidak ada. Termasuk limbuk cangik, togog mbilung itu yang tokoh-tokoh yang selalu mengisi perjalanan rama versi Indonesia,” kata Sumarsono sambil menunjukkan buku-buku komik bercerita Ramayana karya Kosasih, Rabu (3/11/2020).
Narasumber kedua Dr. Surasak Jamnongsarn menuturkan, bahwa Ramayana masuk ke Thailand pada masa Kerajaan Sukhothai, kerajaan pertama di Thailand.
“Penceritaan Ramayana memakai media berupa wayang kulit khas Thailand, Nang, yang diadopsi dari wayang kulit Jawa. Penceritaannya kemudian ditambahkan unsur-unsur animisme lokal Thailand seperti adanya duyung bernama Suvannamaccha, kaki tangan Ravana (Rahwana) yang dijatuh cintai oleh Hanuman. Dan menariknya, Thailand adalah negara Budha dari awal tetapi mempunyai epik Hindu. Relief Ramakien kebanyakan diperlihatkan di Wat Phra Kew,” ucap dia.
Jika di lihat dari kesamaan cerita Ramayana, lanjut dia, merupakan gagasan besar tentang nilai hidup manusia yang insani sebagai khasanah filosofi. Diberbagai wilayah budaya india, China, Tibet, Turki Timur, Vietnam, Malaysia, Burma, Kamboja, Thailand, Laos, sunda, Jawa, bali, dan Philipina. Menurut Rahmat Joko Prakoso, M.Sn.
“Persebaran dapat dimaknai sebagai refleksi pemahaman ideology cultural yang senafas, dan dirintis proses migrasi, perdagangan, dan persebaran agama,” ujarnya.
Dr. Robby Hidajat, M.Sn juga menyampaikan, bahwa webinar antar bangsa ini merupakan laporan terbuka hasil penelitian: Transformasi Estetika Simbolik Lakon Ramayana Indonesia Thailand, yang berawal dari kerja lapangan pengabdian kepada masyarat bersama Kampung budaya Polowijen Kota Malang.
“Kami bersama Ki Demang (Isa Wahyudi) mengekspolorasi lakon Ramayana dengan tampilan berjudul Anoman Gandrung.
Transformasi sastra lakon Ramayana memiliki potensi berkembang kearah sebagai penguatan industri kreatif, dalam kaitan ini memiliki dukungan pada instustri kepariwisataan. Selain dari pada itu, secara transformatif memiliki kekuatan local wisdom dari berbagai lingkungan masyarakat etnik di berbagai deerah, baik di Indonesia atau Thailand,” tandas dia.
Webinar yang diikuti oleh 350 peserta dari berbagai daerah ini diharapkan memiliki dampak posisif, yaitu semakin dikenalnya sastra lakon Ramayana di berbagai laposan masyarakat. Karena mengingat secara trasformatif estetik simbolik memiliki kaitan dengan perkembangan seni pertunjukan yang tersebar di berbagai wilayah etnik, baik yang memiliki nuansa kebangsawaanan (klasik steel) atau fokoloris.
Bahkan peneliti mendorong bagi para seniman dan budayawan, serta pengembang sosial kemasyarakatan, lakon Ramayana dapat mewarnai pada ranah urban di dalam masyarakat perkotaan.
Pewarta: Decky Rachmanda
Editor: Eko Sabdianto
Punlisher: Edius