MALANG NEWS – Sejak menjelang akhir Oktober 2020, saya mencoba berakrab-ria dengan kata arogan. Bermesraan dengan terminologi arogan itu saya lakukan hingga malam ini, Selasa, 3 November.
Apa makna kata arogan sehingga saya terpikat untuk memahaminya? Seperti apa wujud arogan yang telah selesai dilakukan (actus reus)? Apa motif yang membalut niat bertindak arogan (mens rea)?
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata arogan diberi arti sombong, congkak, angkuh, mempunyai perasaan superioritas yang dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa atau pongah.
Arti kata arogan dalam KBBI tersebut sungguh pas dengan fakta peristiwa 170 KUHP (pengeroyokan) terhadap dua anggota Kodim 0304/Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Para tersangka pelakunya peserta konvoi motor gede (moge) dari Bandung. Agenda konvoi mereka finish di Sabang, Aceh.
Maaf, saya tidak iri. Curhat pun tidak. Fakta, saya tidak mampu beli moge. Wajar saya tidak mempunyai moge. Syukur, saya tidak punya modal untuk arogan di jalan raya dengan moge. Sendiri saja atau pun konvoi-ria.
Opini saya tersebut tidak mengandung makna menghakimi dan pukul rata. Sungguh, saya percaya tidak semua pemilik moge arogan tatkala menggeber mogenya di jalanan. Jadi, terpulang pada kepribadian masing-masing (personal).
Kembali ke terminologi arogan. Tidak perlu lagi saya kisahkan kasus 170 KUHP terhadap dua anggota TNI di Bukit Tinggi tersebut. Wartanya sudah melimpah ruah di berbagai media massa. Viral pula di aneka media sosial berjaringan internet.
Saya hanya mencoba melakukan kontemplasi, perenungan. Sesungguhnya, arogan bukan monopoli orang-orang “gede” yang punya moge. Wartawan, jurnalis, pewarta, insan pers juga punya potensi arogan.
Telah kerap saya dengar kabar. Sejumlah oknum jurnalis bertindak arogan kepada “sasaran tembaknya”. Modusnya konfirmasi. Anehnya, sering dibumbui kekerasan verbal berwujud ancaman, intimidasi, menakut-nakuti.
Target oknum jurnalis “kelas begituan” sesungguhnya nampak pada actus reus-nya di Pasal 369 ayat (1) KUHP (pemerasan). Apa mens rea-nya? Jelas materi (uang). Apa lagi?!
Sebelum tidur malam ini, saya mencoba melakukan kontemplasi. Saya bertanya pada diri sendiri. Apa beda arogan pengendara moge dalam kasus 170 KUHP di Bukit Tinggi dengan arogan oknum jurnalis dalam kasus 369 ayat (1) KUHP? Apa ada juga persamaannya?
Bedanya tentu ada. Hal yang kasat mata, beda pada modus operandi (cara melakukan tindak pidana). Beda pula detil actus reus-nya. Berikutnya juga beda ancaman sanksi pidananya.
Pada kasus 170 KUHP, ancaman pidana maksimalnya lima tahun enam bulan penjara. Sedangkan 369 ayat (1) KUHP, empat tahun penjara.
Lantas adakah persamaannya? Saya beropini, persamaannya pada tingkat “kesehatan” kepribadian pelaku. Sama-sama berkepribadian “sakit”. Kasihan, sesungguhnya.
Menjelang tidur malam, saya tuliskan kontemplasi ini. Ada harapan di sudut hati. Semoga para jurnalis, adik-adik saya di grup WhatsApp alumni LASMI angkatan IV ini, tidak ada satu pun yang “menginjak ranjau” 369 ayat (1) KUHP. Caranya? Tidak arogan dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindak. Itu saja.
Selamat malam.
Catatan Redaksi: Yunanto, alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta.