

Oleh: Yunanto
MALANG NEWS – Saya cermati, semakin banyak media online yang berbahasa jurnalistik seenaknya. Kualitas yang idealnya dijadikan “kiblat” dalam berkarya jurnalis, dicampakkan. Sangat memprihatinkan.
Khusus pada rekan-rekan jurnalis alumni diklat jurnalistik LASMI, saya tuliskan pesan di bawah ini. Pesan yang bertolak dari keprihatinan mendalam.
Pertama, jurnalistik itu seni menghadirkan makna yang terkandung dalam fakta.
Sebagimana layaknya seni, wajib berestetika. Tampil indah. Bukan hanya fisiknya, tapi juga bahasa jurnalistiknya.
Karya jurnalistik yang “miskin” estetika, “dhuafa” keindahan, pasti tidak menarik. Terlebih bila bahasa jurnalistiknya “rusak”, karena menabrak etika (tata krama) berbahasa jurnalistik. Menyedihkan!
Meminjam terminologi militer, bahasa jurnalistik adalah “alutsista (alat utama sistem persenjataan)” bagi jurnalis. Tak pelak lagi setiap jurnalis wajib mampu mengimplementasikan kaidah berbahasa jurnalistik. Kasat mata di setiap karya jurnalistiknya.
Kedua, ingatlah selalu pada karakter khas bahasa jurnalistik. Rincinya: singkat, lugas, logis, taat asas kata baku, mudah dicerna, enak dibaca dan akurat.
Jurnalistik sebagai karya seni wajib mampu mengusung makna yang terkandung dalam fakta. Baik fakta peristiwa, fakta pendapat, maupun gabungan keduanya. Bagaimana pun fakta itulah “kiblat” jurnalis. Tidak boleh terjadi erosi fakta.
Kuantitas media online terus bertambah. Tentu bertambah pula kuantitas jurnalisnya. Sayang, tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas jurnalisnya.
Saya sungguh berharap rekan-rekan alumni LASMI tidak mencampakkan etika dan estetika dalam berkarya jurnalistik.
Catatan Redaksi: Yunanto, alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta.