MALANG NEWS – Kesejahteraan jurnalis bagaikan barang langka di era gegap-gempita media online masa kini. Fakta yang terasa tabu diperbincangkan di kalangan insan pers sendiri. Realitas yang menyedihkan, bekerja (berkarya jurnalistik) tanpa upah tetap per bulan.
Wartawan dalam komunitas mayoritas jurnalis media online bagaikan pewarta yang berjalan di atas awan. Dia bisa melihat dan memotret apa saja dari langit. Mewartakan aksi demo massa buruh yang menyoal rendahnya upah, misalnya. Ironisnya, “nasib” upahnya sendiri sebagai jurnalis terbengkelai.
Ironis atau lucu? Nyaris tiada beda dalam kontek kesejahteraan mayoritas jurnalis media online. Betapa tidak lucu, bekerja tanpa diupah. Super-ironis, untuk bisa bekerja mesti berbekal “keplek” (baca: ID card jurnalis) dan malah harus membayar (setor uang) ke manajemen institusi medianya. Ampun, jagat dijungkir balik. Unik sekaligus menyedihkan!
Apa Motifnya?
Dalam bahasa hukum, faktual ironis di jagat mayoritas media online tersebut bisa disebut dengan terminologi actus reus. Suatu perbuatan yang telah terjadi (selesai dilakukan) dan kasat mata. Hal yang membikin saya penasaran adalah mens rea. Artinya, motif yang membalut niat jurnalis media online mau dipekerjakan tanpa upah tetap per bulan.
Mens rea yang sungguh misterius. Bila motifnya “daripada tidak bekerja”, ah, naif. Andai motifnya “pekerjaan sambilan”, rawan dari aspek pertanggungjawaban bila terjadi masalah hukum terkait dengan UU No. 19/ Tahun 2016 tentang ITE. Jika motifnya “untuk gagah-gagahan”, gagah macam apa jika tidak menjiwai UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik?
Saya tulis artikel ini sebagai bentuk keprihatinan. Pasalnya, ada faktual ironis, lucu, unik dan menyedihkan di jagat media online masa kini. Eksistensi mayoritas jurnalis media online di lapangan, jauh panggang dari api dengan realitas tanpa upah tetap (baca: gaji).
Di paragraf ke-2, ke-3 dan ke-4 artikel ini, saya gunakan terminologi mayoritas. Maknanya, memang tidak semua media online tidak memberikan upah tetap pada para jurnalisnya. Namun mayoritas media online tidak membayarkan upah tetap bagi jurnalisnya. Ini fakta.
Bumi berputar. Zaman pun demikian. Ada beda faktual dalam kontek kesejahteraan jurnalis era Orde Baru dengan Orde Reformasi kini. Memang, sulit membandingan secara linier. Saya mafhum, pada zaman Orde Baru tidak ada media online.
Faktual lain, tentu saja jumlah media dan jumlah jurnalisnya jauh beda. Lonjakannya bagaikan deret ukur. Berlipat ganda. Dari aspek daya pengaruh publikasi pun eksistensi media online sangat beragam: lokal, regional, nasional. Berbagai macam mens rea berkecamuk di dalam jagat media online. Mau apa. Itu fakta.
Angin Segar
Mens rea mayoritas jurnalis media online membikin penasaran, menyesaki benak saya. Itu lantaran saya (mungkin) terlalu memperhatikan eksistensi mereka dalam keseharian. Termasuk faktual kualitas (mutu) karya jurnalistiknya yang diproduksi secara nihil upah tetap.
Risau? Ya, itu karena saya menyayangi adik-adik jurnalis media online. Di saat risau kian membuncah, saya menerima kabar dari sobat lama. Seorang jurnalis senior di Malang Raya.
Sobat lama itu lewat telepon mengabarkan akan menghidupkan kembali media online-nya. Kali ini medianya akan hadir dalam nuansa “tampil beda” dari mayoritas media online yang telah ada.
“Tampil beda” yang dia maksudkan bukan hanya soal kualitas karya jurnalistiknya. Lebih dari itu, kesejahteraan para jurnalisnya.
Dia rincikan konkretnya. Setiap jurnalisnya dipastikan menerima gaji tetap per bulan, minimal nominalnya sama dengan UMR yang berlaku. Masih ditambah lagi uang tunjangan profesi per bulan, bila berprestasi. Ada pula tunjangan jabatan.
Gaji tetap dan tunjangan itu pun masih ditambah dengan diikutkan asuransi kesehatan (serupa BPJS).
Ihwal persentase fee dari iklan, apa pun bentuk iklannya, tetap diberikan kepada jurnalis yang mendapatkan iklan. Fee iklan itu tidak termasuk dalam komponen gaji tetap per bulan.
Kabar itu saya nilai sebagai angin segar di jagat media online. Maka saya semangat saat diundang oleh sobat lama itu ke kantor media online-nya di Sawojajar, Kota Malang, akhir pekan lalu.
Ada empat jurnalis yang telah “siap tempur”. Sobat saya menyebutkan, ada 23 orang pelamar menjadi jurnalis di medianya, tapi yang lulus testing (ujian) dan layak, hanya sejumlah itu.
Tidak masalah. Saya tetap semangat memberikan bekal wawasan ihwal publisistik praktika. Tentu, pondasi berjurnalistik: “melek” hukum, saya utamakan. Memenuhi harapan sobat lama saya.
Saya sengaja tidak menyebutkan nama media online berangin segar bagi kalangan jurnalis tersebut. Artikel ini tidak dihajatkan untuk promosi, tapi mawas diri, melakukan kontemplasi.
Catatan Redaksi: Yunanto, alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta.