

Padahal, saat itu para jurnalis dari berbagai media, baik cetak, elektronik dan siber tengah melakukan tugas peliputan jurnalistiknya.
Kekerasan berupa pemukulan, perampasan alat kerja, penghapusan paksa karya jurnalistik (foto dan video) hingga intimidasi secara verbal.
Padahal, hampir semua jurnalis dilengkapi dengan kartu pers atau identitas diri ID Card saat tengah meliput, dan menunjukkan jati dirinya kepada Polri yang bertugas.
Merespon hal itu, para Jurnalis Malang Raya turun aksi dengan turun ke jalan menyuarakan aspirasinya agar tidak ada kekerasan lagi terhadap pekerja media, pada Senin (19/10/2020).
Dengan mengusung manekin sebagai simbol jurnalis bukanlah boneka yang bisa dibungkam. Hal itu dilakukan, mengingat rencananya bakal ada agenda demo besar oleh aliansi buruh di Alun-alun Tugu, Selasa (20/10/2020) besok.
“Sudah kesekian kalinya, bahwa rekan-rekan jurnalis mendapatkan kekerasan verbal maupun fisik. Padahal dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, para jurnalis dilindungi oleh UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,” kata Zainul Arifin, juru bicara aksi, saat tengah mendampingi korlap aksi Adit Glewo.
Zainul mencatat dan merincikan, bahwasanya ada 15 kasus kekerasan yang dialami oleh para pekerja media.
Jurnalis Media Cetak Dipukul.
Seorang jurnalis media cetak berjalan kaki dari Alun-alun Tugu menuju Taman Singha di depan Stasiun Kota Baru, saat hendak mengambil motor dan membeli minum. Tak berselang lama kemudian, beberapa personel Polri mengejar beberapa massa pengunjuk rasa. Apesnya, jurnalis ini dikira bagian massa, lalu ditarik dari belakang hingga jatuh dan kepalanya membentur aspal. Kontan korban berteriak menyebutkan profesinya adalah jurnalis.
Tak cukup disitu, menyusul polisi lainnya tiba-tiba memukul di bagian pelipis dan sekali menendang perutnya. Seorang polisi lainnya bergerak menarik tubuh korban dan memaksa berdiri. Lantas menggelandang dan menginterogasi korban di mobil polisi yang berada di belakang gedung DPRD. Dalam kondisi memar, korban dibebaskan setelah ditolong jurnalis lain dan warga.
Empat Jurnalis Mengalami Intimidasi.
Keempat jurnalis berada di posisi berbeda di kawasan Tugu. Mereka (tiga jurnalis memakai gawai dan seorang jurnalis menggunakan kamera DSLR). Pada saat mengambil foto kericuhan unjuk rasa Tolak Omnibus Law, personil polisi mengintimidasi keempat jurnalis agar tak mengambil gambar polisi yang menangkap para demonstran.
Polisi laki-laki dan polisi wanita mengambil paksa gawai dari tangan ketiga jurnalis. Gawai dikembalikan setelah polisi memeriksa seluruh isi folder foto. Seorang pewarta foto diintimidasi dan dipaksa agar menghapus foto hasil jepretan kamera. Disertai kalimat, “Hapus, hapus, hapus gak!”
10 Jurnalis Mendapat Kekerasan Verbal (Intimidasi/Ancaman) dan Penghalangan Peliputan.
Sebagian besar para jurnalis tidak dalam satu posisi dan lokasi yang sama. Masing-masing mendapat intimidasi agar tak memotret momen polisi menangkap massa aksi. Jurnalis diancam akan dicari bila foto tetap dimuat. Padahal para jurnalis telah menjelaskan profesinya kepada polisi dan menunjukkan kartu pers atau atribut lainnya.
Ada juga seorang personel polisi mendorong kamera seorang jurnalis yang sedang membidikkan kamera untuk merekam momen sembari mengatakan, “ada perintah dari atasan”.
Tidak sedikit pula personel polisi menyorongkan tangan ke arah kamera jurnalis, sekaligus memperingatkan agar tak mengambil gambar.
“Mungkin bagi sebagian pucuk pimpinan paham kerja jurnalis. Namun sebagian anggota lainnya, tidak paham hingga melakukan kekerasan tersebut. Maka kami tak ingin hal itu kembali terjadi ke depannya,” tutur Zainul.
Anggota Polri mengabaikan peran jurnalis saat melakukan peliputan jurnalistik. Polisi melanggar UU nomor 40 tahun 199 tentang Pers. Pada Pasal 4 UU Pers menegaskan, terhadap pers nasional tidak diperkenankan penyensoran, pembredelan dan pelarangan dalam penyiaran.
“Kemerdekaan pers dijamin dan pers berhak mencari, mengolah, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Pasal 8 menegaskan, dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum,” imbuh jurnalis liputan6.com ini.
Ditegaskan dia lagi, bahwasanya siapapun yang melawan hukum karena sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan profesi pers, bisa dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).
Solidaritas Jurnalis Malang Raya Antikekerasan terdiri dari Pewarta Foto Indonesia (PFI) Malang, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang Raya dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Koordinator Malang Raya, mengajukan 4 poin pernyataan sikap, di antaranya:
Polresta Malang Kota wajib mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis saat melakukan peliputan unjuk rasa Tolak Omnibus Law.
Serta, memberi pemahaman kepada setiap personel untuk mematuhi UU Pers, agar peristiwa serupa tak terulang kembali.
Mengimbau perusahahan media bertangungjawab penuh terhadap jurnalisnya, membekali jurnalisnya dengan identitas diri berupa kartu pers.
Perusahaan pers mendampingi jurnalis yang menjadi korban kekerasan sesuai Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan yang dikeluarkan Dewan Pers.
Mengimbau pada para jurnalis yang mengalami kekerasan verbal dan non verbal, untuk berani melaporkan kasusnya.
Karena, mengingatkan jurnalis untuk mematuhi semua kode etik dan UU Pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Pewarta: Achmad Saifudin
Editor: Eko Sabdianto
Publisher: Edius