

MALANG NEWS – Saya telah menonton video #MataNajwaMenantiTerawan.
Konten utama video tersebut tentu saja narasi yang dibawakan Najwa Shihab. Ada dua jenis narasi. Pertama, pernyataan. Kedua, pertanyaan.
Pernyataan yang dilontarkan Najwa, dimaksudkan sebagai “pondasi” sekaligus “preambul” dari pertanyaan.
Jurnalis putri ulama kondang itu, menghadirkan serangkaian fakta di dalam pernyataannya. Harus diingat, fakta memang “kiblat” jurnalis. Baik fakta peristiwa, fakta pendapat, atau pun gabungan dua fakta tersebut.
Pernyataan Najwa yang berisi bunga rampai fakta itulah kemudian “berbuah” pertanyaan. Dilontarkan ke sebuah kursi kosong di depannya. Seolah-olah kursi tersebut diduduki Menteri Kesehatan (Menkes), Terawan Agus Putranto.
Saya ulangi, seolah-olah kursi kosong itu diduduki Menkes. Makna harafiahnya, jelas tidak ada Menkes di situ. Saya sebut saja wawancara imajiner.
Wawancara imajiner tersebut adalah hasil daya kreatifitas Najwa (bersama tim kreatif atau tim produksi) yang inovatif. Dalam disiplin Ilmu Publisistik Praktika dikenal pula terminologi tersebut.
Pertanyaan besarnya, bolehkah karya jurnalistik seperti yang dilakukan Najwa tersebut?
Menurut saya boleh, tapi harus disertai dengan catatan.
Pertama, pernyataan yang dilontarkan sebagai “pondasi” pertanyaan itu wajib “berkiblat” pada fakta.
Kedua, pertanyaan yang dilontarkan tidak boleh negatif bagi pihak yang “seolah-olah diwawancarai”. Misal, tendensius menyalahkan, mencela, menghujat, menghina, dan menghakimi.
Lantas, bagaimana dengan adanya tindakan “mempolisikan” Najwa?
Biarkan saja. Republik ini adalah negara hukum (Bab I, Pasal 1, ayat 3, UUD 1945). Siapa pun boleh merasa punya hak melapor ke polisi sebagai penegak hukum (Pasal 13, ayat 2, UU No. 2/ Tahun 2002 tentang Polri). Sebaliknya, siapa pun bisa menjadi terlapor.
Esensinya bukan hanya ihwal legal standing pelapor dan terlapor, tapi mekanisme. Landasan utamanya tentu UU No. 8/ Tahun 1981 tentang KUHAP atau Hukum Acara Pidana.
Berikutnya, produk hukum positif yang lain dan produk ketentuan atau peraturan lain.
Sebut saja contoh konkret, Nota Kesepahaman (MoU) Kapolri dengan Dewan Pers. “Ruh”-nya, semua laporan (pidana) terhadap jurnalis yang masuk ke institusi Polri tidak serta merta diproses menuju ke arah kiridor litigasi.
Institusi Polri lebih dahulu meminta pendapat, saran dan atau rekomendasi Dewan Pers. Rute menuju ranah litigasi (penyelesaian perkara melalui pengadilan), tentu tetap berpeluang. Kendati demikian tetap ada “syarat”.
“Syarat” dimaksud, bila antara pengadu dan teradu (dalam terminologi Dewan Pers) terbentur jalan buntu. Perdamaian tidak tercapai. Barulah masuk yuridiksi polisi. Pengadu di Dewan Pers menjadi pelapor di kepolisian. Selanjutnya teradu berubah menjadi terlapor.
MoU Kapolri dengan Dewan Pers memang dihajatkan untuk “memagari” jurnalis dari tindak kriminalisasi.
Jadi, nyantai saja, Mbak Najwa.
Catatan Redaksi: Yunanto, alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta