Meski disebut dengan Angkatan ke-3, namun pada dasarnya sudah 5 kali dilaksanakan. Dalam angkatan kali ini, terdapat 15 peserta berasal dari Papua, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, beberapa dari Jawa Timur dan pemuda desa Sumbersuko.
“Kami bersyukur berkesinambungan bisa mengadakan pelatihan ini untuk menciptakan pembangunan penghidupan lestari. Pelatihan SLA (Sustainable Livelihood Approach) ini angkatan ke -3,” kata Pietra Widiadi, Founder Dial Foundation, pada Rabu (7/10/2020).
Pria yang juga aktif di WWF Indonesia sebagai Policy dan Governance Leader ini menuturkan, kegiatan pelatihan ini, untuk penguatan kapasitas pegiat desa dalam menyusun perencanaan desa dengan basis data yang kuat dari desa yang akan dibangun.
“Ini merupakan kelas yang sangat mewah dan istimewa,” terang Sugie, Manajer Pendopo Kembang Kopi selaku penanggungjawab.
Dalam kurun waktu 3 tahun tersebut sudah ada sekitar 100-an alumni dan tersebar di seluruh Indonesia.
Pelatihan ini dilakukan setiap bulan secara seri, yaitu seri 1 dan seri 2, dengan jeda 2 bulan.
Pelaku Pembangunan
Pelatihan ini diperuntukkan untuk umum, terutama pegiat pembangunan desa, seperti LSM dan kelompok pendamping desa serta pelaku pembangunan desa.
Pelaku pembangunan desa, disini antara lain seperti BPD atau perangkat desa dan juga tokoh desa yang dapat mewakili kapasitas desa sebagai tim Penyusun RPJM Desa.
Umumnya, pada awalnya peserta berkeluh-kesah bahwa masyarakat selalu meminta hasil yang cepat dan nampak dilihat dengan mata.
“Namun setelah pelatihan berlangsung, mereka menjadi bisa menjawab bahwa desa tidak cukup hanya dibangun secara fisik, atau dalam pendekatan ini disebut dengan modal fisik,” jelas Maria Purboningrum, salah satu fasilitator dalam pelatihan ini.
Empat Modal
Pendekatan penghidupan lestari ini, mengulik 4 modal lainnya selain modal Fisik, yaitu modal alam, sosial, manusia dan dana.
Dalam hal ini, sering kali setelah dipaparakan bahwa pembangunan desa tidak hanya menekankan hal yang bersifat kasat mata, tetapi juga tidak dirasa dalam waktu singkat.
Salah satu hal dari kegiatan yang tidak mudah dilihat hasilnya adalah pembangunan manusia.
“Modal manusia sebagai bagian dalam pembangunan desa, sering hanya dianggap figuran, namun sebenarnya memiliki peran yang sangat vital,” papar Pietra Widiadi.
Perubahan Terencana
Pelatihan yang diselenggarakan pada tgl 30 September – 5 Oktober lalu, setidaknya memberikan motivasi kepada peserta, bahwa pembangunan tidak hanya sekedar pembangunan fisik.
Mereka melihat selama ini pembangunan yang dilakukan memang kurang luas terkait dengan modal yang lain, untuk mencapai pembangunan manusia desa seutuhnya.
Dalam pelatihan ini, peserta dibawa pada pemahaman bahwa Pembangunan Masyarakat (community development) adalah perubahan yang direncanakan dalan segala aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, lingkungan hidup dan sosial-budaya).
Hal ini merupakan proses dimana anggota masyarakat bersama-sama dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, menjadi sebuah tantangan bersama.
Community Development kadang-kadang sangat jelas, kadang-kadang sebagai sebuah pernyataan tujuan dari pembangunan masyarakat, dan atau cita-cita yang ingin dicapai melalui upaya bersama untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Community Organizer
Jelas bahwa untuk melakukan pembangunan masyarakat, dibutuhkan penggerak atau dalam istilah yang lebih lunak disebut dengan organisator masyarakat (community organizer).
Dengan demikian pembangunan dapat dilakukan dalam kegiatan yang terintegrasi dan konstruktif. Maka dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat dibutuhkan seorang atau beberapa orang, bahkan sebuah lembaga yang disebut dengan organisator masyarakat atau saat ini lebih dikenal dengan sebutan Fasilitator Masyarakat (community facilitator).
Kapasitas fasilitator atau dalam istilah lain penggerak pembangunan desa, mesti cukup untuk melakukan fasilitasi pembangunan masyarakat.
Analisa Modal Pembangunan
Dan pada seri belajar ini, yang ditawarkan adalah melakukan analisa atau pengkajian terhadap modal yang dimiliki suatu masyarakat untuk dapat menyusun sebuah strategi pembangunan.
Ini merupakan tahap dimana Fasilitator sudah diterima dari hasil tahap pertama, dan kemudian melakukan tahapan yang kedua yaitu proses yang sistematis pembelajaran dan menganalisis berbagai struktur dan kekuatan dalam masyarakat ekonomi, politik dan sosial-budaya.
Hasilnya adalah potret masyarakat, yang merupakan kolase ilmiah dan sintesis dari data yang dikumpulkan.
Ini memberikan gambaran yang jelas tentang apa dan bagaimana masyarakat dimana proyek akan dilaksanakan.
Ini adalah proses mendefinisikan, menganalisis dan peringkat masalah masyarakat dan kebutuhan sesuai dengan kepentingan mereka, urgensi penyelesaian, jumlah orang yang menjadi bagian dari proyek, masyarakat menganalisis situasi mereka dari sudut pandang analitis.
Orang-orang yang menjadi benar-benar independen, berdiri tegak pada masa depan mereka sendiri, memberikan kontribusi kepada masyarakat secara keseluruhan.
Analisa SLA
Pada tahap ini, keterlibatan masyarakat sudah cukup kuat dan mulai dilakukan analisa dengan menggunakan Sustainable Livelihood Assesment berdasarkan data yang ada.
Data yang ada disusun berdasarkan 5 modal perikehidupan untuk mendapatkan gambaran tentang profil suatu masyarakat untuk mengetahui potensi lainnya, yang dapat dimanfaatkan masyarakat di suatu wilayah sebagai alternatif penghidupan (livelihood) yang dapat dikembangkan.
Dengan demikian maka untuk menyusun profil yang tepat fasilitator harus menguasai salah satu alat analisa yang ada, dalam hal ini adalah Pengkajian Perikehidupan yang Lestari (sustainable livelihood assessment). (Had).
MALANG NEWS – Untuk kelima kalinya dalam waktu 3 tahun ini, Dial-Foundation yang lebih dikenal dengan Pendopo Kembang Kopi menyelenggarakan pelatihan Pendekatan Penghidupan Lestari (Sustainable Livelihood Approach).