Ikuti Kami di Google News

Edi, salah satu petani Salak Pondoh Lumut sejak tahun 2002 yang lalu, dirinya memanfaatkan kotoran Kambing sebagai pupuk.
Edi, salah satu petani Salak Pondoh di Desa Sukodono, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang, saat menunjukkan hasil panennya. (Had).
MALANG NEWS – Petani di Desa Sukodono, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang berupaya bertahan di tengah pandemi, dengan membudidayakan tanaman Salak jenis Pondoh Lumut sistem Semi Organik.


Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Edi, salah satu petani Salak Pondoh Lumut sejak tahun 2002 yang lalu, dirinya memanfaatkan kotoran Kambing sebagai pupuk.

“Alhamdulillah, kami bisa bertahan di tengah pandemi, dengan mengembangkan tanaman salak Pondoh Lumut sistem Semi Organik,” kata Edi, Sabtu (3/9/2020).

Salak Pondoh Unggulan
Edi menuturkan, dirinya menanam salak jenis ini karena mempunyai beberapa keunggulan. Diantaranya yaitu tidak mudah rontok dan cocok untuk iklim setempat.

Edi menceritakan dirinya mulai menanam Salak sejak tahun 2002 pada lahan seluas 1,5 hektar area. Dari pertama ditanam, Salak membutuhkan waktu selama empat tahun baru bisa dipanen.

Setelah panen, maka Salak bisa dipanen selama 15 hari sekali. Terkait hasil, maka hasil panen tidak sama setiap masa panen.

“Alhamdulillah, kami bersama sekitar 250 petani disini saling membantu. Hasil panen bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” terang Edi.

Untuk sistem pemasaran, Edi mengungkapkan, jika buah Salak selain dijual di grosir juga melayani pengiriman.

“Kami juga melayani permintaan sistem deliveri order. Alhamdulillah, ada juga peminat dan pembeli di luar Malang Raya,” papar Edi.

Kurang Air
Edi mengatakan, hasil dalam satu kali panen bisa memperoleh sebanyak Rp 1-3 juta. Untuk panen, hasilnya dijual di agen grosir di Gondanglegi, Kabupaten Malang.

Edi mengeluh, saat menanam Salak menemui kendala saat musim kemarau yaitu pengairan kurang lancar.

Sehubungan dengan hal itu, maka Edi minta diupayakan pengadaan mesin untuk memompa air yang akan dipergunakan mengairi tanaman Salak.

“Kalau musim kemarau agak susah. Utamanya soal pengairan jadi tidak maksimal,” papar Edi.

Nilai Tambah
Edi menjelaskan, jika pihaknya terkendala modal untuk bisa menjalankan inovasi guna meningkatkan hasil Salak.

Semisal, jika berinovasi menjadikan Salak sebagai keripik, maka alat untuk proses pembuatan keripik dinilai masih terlalu mahal dan tidak bisa dijangkau oleh para petani rakyat.

“Sebenarnya pingin juga sih untuk mengolah hasil panen Salak, biar punya nilai tambah pada harga jual. Sebagai contoh dijadikan keripik. Tapi kami tidak punya modal,” ujar Edi.

Potensi dan Pupuk Organik
Edi menjelaskan potensi pasar tanaman Salak sangat besar, namun membutuhkan upaya untuk bisa mengoptimalkan hasil panen.

Edi mengatakan, pihaknya membutuhkan terobosan untuk pemaksimalan penyediaan pupuk organik.

Selama ini petani Salak secara mandiri dan swadaya membuat pupuk organik, yakni dengan bahan baku dari kotoran kambing secara sederhana.

“Kami ingin ada semacam pelatihan dan bantuan lainnya, agar bisa memperbanyak pengadaan pupuk organik. Hal ini karena pupuk kimia agak sulit didapat. Insya allah jika pupuk organik banyak, maka secara otomatis akan meningkatkan hasil panen,” pungkas Edi. (Had).

Share: