“Menyandang dan menjalankan profesi jurnalis saat pandemi menjadi sebuah tantangan yang butuh jibaku tingkat dewa. Salah satu solusi adalah jurnalis dapat bekerja secara jarak jauh atau bekerja dari rumah,” kata Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka Hamidah Izzatu Laily S. Ikom, MA, Kamis (13/8/2020).
Hamidah menjelaskan, adanya kondisi Pandemi menuntut jurnalis agar tetap selalu eksis dengan daya adaptif yang tinggi. Berdasar pengamatannya, ada lima solusi kiat diantaranya adalah jurnalis dapat bekerja secara jarak jauh atau bekerja dari rumah, sebagaimana usulan yang dikemukakan oleh Freedom of The Press Foundation.
Hamidah mengatakan, sebagian besar perusahaan media sudah memiliki kebijakan ruang redaksi yang terpisah untuk memungkinkan jurnalis bekerja jarak jauh, namun banyak infrastruktur yang masih belum sepenuhnya sempurna.
“Beberapa infrastruktur pendukung ruang redaksi jarak jauh tersebut misalnya adalah: jaringan pribadi virtual atau VPN, penggunaan kata sandi bersama agar memungkinkan anggota tim mengakses dokumen-dokumen bersama, dan mengaktifkan otentifikasi dua faktor untuk menjaga keamanan akun saat masuk ke situs website,” jelas perempuan alumnus S2 Ilmu Komunikasi UGM tersebut.
Dinamika Jurnalis
Lebih jauh Hamidah mengungkapkan berbagai gambaran dinamika dunia jurnalis saat pandemi menjangkit.
Pada akhir Juni lalu, media online Kumparan melakukan PHK terhadap hampir 100 pekerjanya dengan alasan pendapatan yang turun akibat pandemi Covid-19.
Kumparan juga meminta pekerjanya untuk mengembalikan peralatan kantor seperti ponsel dan notebook. Di sisi lain, Undang-undang Ketenagakerjaan Indonesia mengatur bahwa PHK karyawan karena alasan efisiensi hanya boleh dilakukan, jika perusahaan tersebut benar-benar akan menghentikan operasinya.
Kasus ini menyita perhatian dari dalam dan luar negeri, hingga mendapat sorotan dari Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), sebuah organisasi internasional yang mewakili lebih dari 600.000 jurnalis di 146 negara.
IFJ dalam rilisnya 10 Juli 2020, menyampaikan kekhawatiran atas sikap Kumparan yang abai terhadap hak-hak pekerja tersebut dan mendesak Kumparan mematuhi hukum perburuhan Indonesia.
Kasus PHK yang terjadi di media Kumparan, bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi jurnalis di tengah wabah Covid-19.
Selain kehilangan pekerjaan, jurnalis juga menghadapi masalah lainnya seperti gaji yang tidak dibayarkan. Lembaga Bantuan Hukum untuk Pers (LBH Pers) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menerima 61 laporan pelanggaran ketenagakerjaan antara 3 April dan 2 Mei 2020.
Laporan tersebut termasuk 26 wartawan yang telah diberhentikan, 21 wartawan yang cuti dan 11 jurnalis yang telah menerima pemotongan gaji atau penundaan.
Dalam lingkup global, berdasarkan hasil survey IFJ terhadap 1.308 jurnalis dari 77 negara menunjukkan bahwa 65,4 persen responden menderita pemotongan gaji, kehilangan pekerjaan, atau memburuknya kondisi kerja selama pandemi.
Tantangan lainnya adalah verifikasi fakta dalam peliputan yang semakin sulit di masa pandemi.
Masih berdasarkan data IFJ, sekitar 73,9 persen responden mengatakan menderita lebih banyak pembatasan sejak pandemi dimulai.
Pembatasan ini tentu berkaitan dengan aspek kebebasan pers di berbagai negara yang dirasakan jurnalis semakin buruk. Tiga dari empat jurnalis dalam survei mengatakan, mengalami upaya penghalangan atau intimidasi dalam peliputan terkait Covid-19.
Selain itu, satu dari empat jurnalis juga mengaku semakin kesulitan mengakses informasi dari sumber resmi pemerintah, beberapa di antaranya karena alasan keterbatasan mengajukan pertanyaan, saat konferensi pers dan serangan verbal dari politisi.
Tidak berhenti sampai di situ saja, jurnalis di era pandemi juga menghadapi ancaman keselamatan fisik.
Jurnalis harus melakukan liputan yang baik namun disaat yang sama ia juga harus melindungi diri sendiri serta orang lain dari risiko penularan virus corona.
Di Indonesia, pekerja di perusahaan media yang terinfeksi Corona terus mengalami peningkatan. Mula-mula adalah kasus pemimpin redaksi media online di Bali yang meninggal pada 2 Juli 2020, disusul kasus di TVRI Surabaya dengan dua karyawannya yang juga meninggal karena Covid-19.
Yang terbaru adalah tiga pegawai di Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI Jakarta, dan juga lebih dari 50 pegawai RRI Surabaya yang positif Covid-19.
Selain itu, berdasarkan informasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, lebih dari 20 pekerja media di salah satu stasiun TV swasta teridentifikasi positif Corona.
Serangkaian protokol kesehatan memang sudah dijalankan, untuk menghindarkan jurnalis dari risiko ancaman fisik berupa tertular virus Corona, namun masalah belum selesai sebab jurnalis juga rentan menghadapi ancaman psikologis.
“Wartawan rentan mengalami kejenuhan hingga stres karena bekerja lebih lama dengan terus menerus meliput berita yang sama, hingga mengabaikan masalah-masalah penting lainnya di luar topik Corona,” jelas Hamidah.
Sederet panjang tantangan yang dihadapi jurnalis dan pekerja media di era pandemi ini, tentu membutuhkan solusi.
Kiat dan Solusi
Hamidah menuturkan, solusi berikutnya adalah, jurnalis harus menyadari bahwa keselamatan adalah yang utama. Meskipun naluri utama jurnalis adalah segera menuju tempat kejadian perkara dengan cepat, namun ancaman virus Corona membawa risiko lebih besar, berbeda dengan berita utama lainnya.
Maka, jurnalis harus mampu menilai sejauh mana risiko tersebut, dan memastikan komunikasi yang aman dengan narasumber ketika peliputan hingga menerapkan protokol kebersihan yang tepat.
Perusahaan juga harus hadir sebagai pelindung jurnalis ketika harus bekerja di lapangan, misalnya menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) untuk proses peliputan.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 86 Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan, bahwa setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas kesehatan dalam bekerja.
Solusi ketiga, mengedepankan verifikasi fakta, sebab Covid-19 tidak hanya menjadi sebuah pandemi namun menurut WHO juga telah menjadi “infodemic”, dimana muncul misinformasi berbahaya yang berlimpah.
Maka, sudah menjadi tugas seorang jurnalis untuk mampu mengatasi overload informasi tersebut menjadi informasi yang terverifikasi, dengan cara memahami secara kritis mana informasi yang salah dan mana yang benar.
Mengutip pernyataan dari website Thomson Foundation, bahwa jurnalis harus mampu memastikan cerita mereka didasarkan pada kebenaran bukan opini, dan berlandas pada sains bukan spekulasi.
Menjadi penting bagi jurnalis untuk melakukan verifikasi fakta, yakni dengan cara mengidentifikasi data yang salah dan menyesatkan, juga menganalisis secara kritis informasi yang didapatkan, hal ini bertujuan untuk mencegah penyebaran berita palsu.
Solusi keempat, menjaga kesehatan mental dan tidak panik, sebab dalam memproduksi berita, jurnalis dituntut untuk tetap tenang sehingga dapat menghasilkan berita yang mendalam dan seimbang.
Kepanikan dalam meliput sering kali hanya akan membuat berita tidak proporsional. Bahkan lebih lanjut, berita yang sensasional hanya akan menyebarkan ketakutan lebih cepat daripada virus itu sendiri.
Para jurnalis penting untuk memiliki pemahaman sains di balik pandemi dan pertimbangan etis ketika meliput virus Corona.
Jurnalis juga harus mampu mengidentifikasi sumber mana yang dapat dipercaya, mampu mengetahui cara penggunaan bahasa dan referensi untuk menghindari stigmatisasi dan stereotip, mampu menyampaikan rasa urgensi tanpa menimbulkan kepanikan dan kecemasan.
Terkait menjaga kesehatan mental, mengatasi trauma, dan masalah psikologis lainnya selama meliput covid-19, Dr. Cait McMahon, direktur Dart Center Asia Pacific (Dart Centre adalah salah satu otoritas terkemuka dunia di bidang jurnalisme dan trauma), menyarankan para jurnalis melakukan beberapa strategi untuk menjaga kesehatan mental salah satunya melakukan pemeriksaan psikologis diri secara teratur.
McMahon mencatat, bahwa jika seorang jurnalis baru saja mengalami stres, maka ia mungkin akan lebih rentan selama proses peliputan virus Corona.
Namun tidak menutup kemungkinan, trauma di masa lalu juga mempengaruhi kesehatan mentalnya saat ini.
Maka jurnalis perlu mempertimbangkan peristiwa dramatis, konflik antar generasi, dan trauma-trauma pribadi yang telah memengaruhinya atau orang yang disayangi, sebab semua peristiwa masa lalu, dapat memengaruhi masa kininya.
Terakhir, jurnalis juga harus menyadari pentingnya keberadaan serikat pekerja media. Serikat pekerja adalah organisasi yang mewakili karyawan berhadapan dengan pengusaha, dan memastikan hak-hak karyawan pada suatu perusahaan pers dipenuhi dengan baik.
Dalam konteks ini, serikat pekerja dapat menjembatani komunikasi antara jurnalis dengan pihak manajemen perusahaan sehingga tercapai kesepakatan yang saling menguntungkan apabila harus terjadi PHK.
Kebebasan berserikat sendiri sudah diatur dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Asas yang ada dalam konstitusi tersebut kemudian diwujudkan ke dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
“Pekerja berhak membentuk serikat pekerja untuk memperjuangkan kepentingan pekerja agar mempunyai posisi tawar terhadap pengusaha,” pungkas Hamidah. (Had)
MALANG NEWS – Agar eksis di tengah pandemi, jurnalis setidaknya harus menjalankan lima hal, salah satunya adalah jurnalis dapat bekerja secara jarak jauh atau bekerja dari rumah.