Ikuti Kami di Google News

 tri
Ketua WPA Turen Tri Nurhudi Sasono, M.Kep. (Had)
MALANG NEWS – Ketua WPA (Warga Peduli AIDS) Turen Tri Nurhudi Sasono, M.Kep minta kepada masyarakat untuk tidak mengucilkan Anak dengan Status HIV-AIDS (ADHA).


“Kami minta masyarakat jangan mengucilkan Anak dengan Status HIV-AIDS (ADHA), dan anak-anak yang sehat negatif HIV akan tetapi orang tuanya ODHA (Orang dengan status HIV-AIDS),” kata Tri Nurhudi baru-baru ini.

Seperti diketahui, setiap tanggal 23 Juli selalu diperingati sebagai Hari Anak Nasional tidak terkecuali Warga Peduli AIDS Turen pun memperingatinya, dengan mengkampanyekan dengan tidak mengkucilkan Anak dengan status HIV-AIDS atau yang biasa disebut ADHA dan anak-anak yang sehat negatif HIV, akan tetapi orang tuanya ODHA (Orang dengan status HIV-AIDS).

Kasus perlakuan tindakan diskriminasi terhadap ADHA masih marak terjadi di masyarakat seperti tidak diterima keluarga dan lingkungan sekitar, tidak mendapatkan pengobatan yang layak dan bahkan tidak diterima di sekolah pada anak-anak sebayanya.

Sebagian besar anak-anak ini tertular virus HIV bukan karena perilaku negatif atau perilaku-perilaku yang tidak baik, akan tetapi anak-anak itu terlahir dengan HIV karena tertular dari orang tua mereka.

Sebenarnya, jika seandainya bisa memilih mereka tentu tidak ingin dilahirkan dalam kondisi status HIV, dengan adanya virus HIV ini di dalam tubuhnya.

Menurut Tri Nurhudi Sasono, M.Kep masalah stigma diskriminasi ini sebenarnya terjadi, ketika status HIV penyakit diketahui secara publik.

Membuka status HIV terkadang diawali dari keluarga, tetangga sekitar, petugas kesehatan bahkan guru yang ada di sekolah.

Sebenarnya tidak ada kewajiban untuk membuka status HIV, selama tidak melakukan perilaku-perilaku beresiko seperti petugas kesehatan, pekerja seks, atau bidang pekerja lain yang memang kontak beresiko langsung dengan orang lain.

Adapun ADHA termasuk anak usia sekolah tidak berkewajiban harus buka status di sekolahannya, ataupun kepada gurunya karena tujuan dari sekolah untuk mengetahui status HIV adalah sebagai kebutuhan sejauh mana penanganan terhadap kondisi fisik ADHA ketika di sekolah.

Ironisnya, di lingkungan masyarakat masih menganggap HIV-AIDS adalah penyakit kutukan, padahal orang-orang baikpun sebenarnya bisa tertular HIV.

ADHA ini hanyalah korban sangat membutuhkan dukungan dari sekitarnya, karena mereka sedang berjuang melawan penyakitnya.

Tidak adil rasanya bila anak-anak yang terlahir dan positif HIV, masih harus mendapatkan stigma diskriminasi di lingkungan sekitar, bahkan kesusahan untuk mendapatkan haknya bersekolah.

Tri menuturkan, pernah kasus diskriminasi terjadi di sebuah sekolah SMP di wilayah Kabupaten Malang tidak mau menerima ADHA bersekolah dan bercampur anak-anak pada umumnya, dengan alasan kondisi fisik sebaiknya anak dengan status HIV dianjurkan Home Schooling.

Akan tetapi ujung-ujungya sekolah tidak mau menerima ADHA, karena khawatir kalau orangtua wali siswa lain ada yang mengetahui kredibilitas sekolah akan turun, dan akan banyak siswa-siswi yang keluar serta tidak ingin sekolah di SMP tersebut.

Lelaki yang juga Dosen STIKes Kepanjen ini menghimbau kepada masyarakat untuk selalu melindungi ADHA, tidak melakukan tindakan stigma diskriminasi dan jangan menjauhinya.

Mayoritas ADHA, memiliki kondisi fisik yang sehat dan tidak pernah sakit layaknya anak yang tidak terinfeksi selama patuh dan disiplin terhadap pengobatan ARV.

“Mereka juga mempunyai masa depan gemilang dan memiliki cita-cita yang mulia. Terdapat 3 ADHA yang tergabung di WPA Turen, menyatakan keinginannya untuk menjadi dokter dan bercita-cita menjadi guru. Semoga cita-citanya terkabul semuanya, amin,” tutup Tri. (Had)

Share: