

Oleh: Yunanto
MALANG NEWS – Beberapa hari dalam sepekan terahir ini, saya intensif ngobrol dengan rekan-rejan jurnalis anggota grup WA Alumni LASMI. Obrolan santai di gubuk saya, di Pakisaji. Topiknya antara lain ihwal karya jurnalistik mereka.
Tentu saja saya senang topik obrolan tersebut. Bagi saya, ngobrol dengan jurnalis-jurnalis muda ibarat “wisata batin”. Terlebih diselingi canda tawa. Sungguh menyenangkan bagi orang seusia saya.
Setelah rekan-rekan jurnalis meninggalkan gubuk saya, kerap saya merenung sendiri. Melakukan kontemplasi (perenungan) seraya bertanya dalam hati, “Nilai manfaat baik seperti apa yang bisa saya berikan kepada rekan-rekan jurnalis ini?”.
Entahlah, saya merasa “bersalah” bila tidak mampu memberikan manfaat positif bagi rekan-rekan jurnalis yang kerap ngobrol dengan saya.
Saya temukan satu jawaban. Rekan-rekan jurnalis anggota grup WA ini harus bisa saya ajak untuk berani tampil beda dalam berkarya jurnalistik.
“Tampil beda” yang saya maksudkan itu tercermin pada hasil karya jurnalistik berbentuk berita (news). Galibnya, berita yang berkarakter khas alumni LASMI.
Obsesi saya, hanya dengan membaca judul berita, khalayak komunikan dengan mudah menjadi tahu bahwa berita tersebut karya jurnalis alumni LASMI. Pasalnya, berciri khas.
Misal, ihwal judul berita. Berciri khas: (1) khas kalimat judul pendek, maksimal delapan kata, (2) khas judul berupa kalimat pasif, (3) khas judul taat asas kata baku, (4) khas judul akurat penulisan kata depan, kata awalan, kata sambung, kata sandang.
Ciri khas berita karya jurnalistik alumni LASMI juga harus nampak nyata di tubuh berita.
Misal, (1) khas lead atau teras berita di alinea pertama merupakan penjabaran dari judul, (2) khas lead berisi maksimal tiga kalimat, (3) khas seluruh tubuh berita menggunakan kalimat-kalimat pendek, maksimal 20 kata per kalimat, (4) khas seluruh tubuh berita menggunakan kalimat aktif, kebalikan dari kalimat judul, (5) khas seluruh tubuh berita mengindahkan kaidah berbahasa jurnalistik: singkat, lugas, logis, taat asas kata baku, mudah dicerna dan enak dibaca.
Itulah obsesi saya. Mungkinkah obsesi tersebut bisa dihadirkan menjadi kenyataan? Saya berpendapat mungkin saja. Tentu dengan syarat: belajar (teoritika) dan berlatih (praktika) secara serius dan berkesinambungan.
Saya pun sampai sekarang masih terus belajar berkarya di media siber yang “dipagari ketat” oleh UU ITE.
Maklumlah, selama puluhan tahun saya berkarya di media massa cetak, “dipagari” KUHPidana. Kala itu UU ITE memang belum lahir.
Sekali lagi, itulah obsesi saya. Semoga bisa terwujud, suatu saat nanti.
Entah kapan.
Catatan Redaksi:
Yunanto, alumni Sekolah Tinggi Publisistik – Jakarta.