Ikuti Kami di Google News

Maulina Pia Wulandari, Ph.D. (ist)
Pakar Komunikasi dan Manajemen Krisis UB Malang Maulina Pia Wulandari, Ph.D. (ist)
MALANG NEWS – Pakar Komunikasi dan Manajemen Krisis Universitas Brawijaya (UB) Malang Maulina Pia Wulandari, Ph.D mengatakan pada saat industri pariwisata dibuka ia minta mewaspadai wisatawan “nekad” karena dikhawatirkan jadi pemicu second wave pandemic Covid-19.


“Yang perlu diwaspadai adalah wisatawan nekat, yang diperkirakan jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan wisatawan yang bijak dalam berwisata dan patuh dengan protokol kesehatan. Mereka inilah yang bisa mempercepat penularan virus COVID-19 akibat rendahnya rasa kesadaran akan bahaya virus ini dan disiplin diri untuk mematuhi protokol kesehatan,” kata Pia Senin (15/6/2020).

Seperti diketahui, industri pariwisata di tanah air mulai menggeliat sejalan dengan diberlakukannya kebijakan new normal oleh pemerintah Indonesia.

Fakta menunjukkan masyarakat merasa jenuh dan stress akibat kebijakan physical distancing atau PSBB sehingga masyarakat sudah tidak sabar untuk segera berwisata. 

Namun ada kekhawatiran baik dari masyarakat dan para pelaku industri pariwisata terhadap masalah-masalah yang akan muncul jika industri pariwisata mulai beroperasi.

Pia mengatakan industri pariwisata bisa menjadi pemicu terjadinya gelombang kedua (second wave) pandemik COVID-19 jika tidak dipersiapkan dengan matang dan cermat. 

“Pelaku industri pariwisata harus benar-benar menganalisis segala resiko dan kemungkinan yang timbul dengan dibukanya industri yang banyak mengundang berkumpulnya orang,” tutur perempuan yang juga berprofesi sebagai Size Fashion Designer Curvilinea by Pia Haryono ini.

Pia menjelaskan, sebelum industri ini dibuka, para pelaku pariwisata harus benar-benar memahami pandangan wisatawan pada kondisi pariwisata yang diharapkan selama pandemi ini berlangsung. 

Menurut dosen Ilmu Komunikasi UB ini, para pelaku pariwisata ini harus memahami beberapa hal, pertama, wisatawan pergi berlibur masih dalam keadaan cemas dan khawatir akan tertular virus COVID-19 tapi butuh liburan. 

Kedua, wisatawan ingin berlibur sendirian atau dengan keluarga inti, naik kendaraan pribadi dengan jarak tidak jauh, menikmati keindahan alam, pergi ke tempat yang tidak banyak didatangi oleh pengunjung, dan tidak menghabiskan biaya yang besar. 

Ketiga, wisatawan ingin memastikan dan harus merasa yakin bahwa hotel, tempat wisata, restaurant, café, dan tempat penjualan oleh-oleh yang akan dikunjungi betul-betul memenuhi tiga unsur utama pariwisata: Kebersihan, Kesehatan dan Keselamatan.

Dengan kondisi wisatawan yang seperti itu pelaku industri pariwisata dapat mengindentifikasi beberapa tipe wisatawan yaitu Wisatawan “paranoid”: takut yang berlebihan akan tertular virus COVID-19.

Wisatawan “stay alert”: yang selalu waspada pada bahaya virus COVID-19.

Wisatawan “travel wise”: yang tetap menikmati perjalanan wisatanya namun tetap patuh pada protokol kesehatan.

Kategori terakhir adalah wisatawan “nekat”: yang hanya senang menikmati perjalanan wisatanya tapi cuek dan tidak patuh pada protokol kesehatan.

“Nah, yang perlu diwaspadai adalah wisatawan nekat,” jelas perempuan alumnus SMP 3 dan SMU 3 Kota Malang ini.

Dia menambahkan, pelaku industri pariwisata yang hanya menerapkan protokol kesehatan di minggu awal saat beroperasi atau tidak disiplin dalam menjalankan protocol kesehatan ini juga dapat memicu percepatan penularan virus COVID-19.

Pia merekomendasikan pelaku industri pariwisata agar jangan hanya sibuk promosi dengan memberikan discount besar-besaran, seperti paket pariwisata yang murah, tapi melupakan esensi apa yang sebenarnya diinginkan oleh wisatawan.

Selain melakukan persiapan internal dalam hal pemenuhan 3K (Kebersihan, Kesehatan dan Keselamatan), para pelaku pariwisata juga harus membuat strategi komunikasi pemasaran yang mengkampanyekan kesiapan industri pariwisata untuk memberikan keyakinan kepada wisatawan bahwa destinasi wisata sudah siap menerima kunjungan dengan memperhatikan 3K tersebut.

“Strategi komunikasi pemasaran ini harus dijalankan minimal tiga minggu berturut-turut sebelum industri pariwisata beroperasional. Pelaku pariwisata harus mensosialisasikan hal-hal yang harus diketahui dan dipatuhi oleh para wisatawan serta konsekuensi-konsekuensi yang dihadapi jika melanggar protokol kesehatan yang telah diterapkan oleh para pelaku pariwisata,” saran perempuan alumnus program studi Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Airlangga ini.

Pia juga menambahkan bahwa pelaku pariwisata juga harus menyediakan berbagai macam bentuk medium komunikasi dengan wisatawan seperti pamflet, buku saku, short video, hingga reminder text messages, tentang protokol kesehatan yang harus dipatuhi oleh wisatawan dan harus disampaikan kepada wisatawan sebelum berkunjung, saat berkunjung, dan saat kembali pulang. 

Harus pula disediakan layanan komunikasi interaktif 24 jam melalui berbagai saluran komunikasi yang memudahkan wisatawan menghubungi para pengelola pariwisata saat mereka menghadapi masalah misalnya tiba-tiba sakit.

Namun Pia mengingatkan bahwa strategi ini akan berhasil jika dilakukan jauh sebelum industri pariwisata beroperasi dan adanya kontinuitas penyampaian sosialisasi saat industri sudah beroperasi. 

“Jika tidak dilaksanakan dengan baik, bisa dipastikan gelombang kedua pandemik COVID-19 bisa terjadi selama 2-4 minggu di awal dibukanya industri pariwisata. Jangan sampai industri pariwisata dituduh sebagai pemicu terjadinya “second wave” yang mengakibatkan kerugian yang lebih besar lagi pada industri pariwisata Indonesia yaitu penutupan total industri pariwisata Indonesia,” pungkas Pia. (hum/had).

Share: